Selasa, 29 Juni 2010

Kang Suradi berbicara...

Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits).”
Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)
=======================================
Ar-Rabi` bin Khaitsam berkata: Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan mencari
ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!
======================================
Abu Sulaiman Ad-darani berkata: Beruntunglah bagi orang yang
mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha
Allah!
========================================
Yazid bin Al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Waspadalah kalian dari nyanyian, karena ia bisa mengurangi rasa malu, menghancurkan kepribadian, dan ia adalah pengganti khamar, sehingga membuat orang berbuat seperti orang mabuk, jika engkau terpaksa harus melakukannya maka jauhilah wanita, karena nyanyian mendorong kepada zina.”
==========================================
Muhammad bin Al-Fadhl Al-Azdi berkata, “Suatu kali Al-Huthai’ah bersama seorang puterinya menginap di suatu rumah orang Arab gunung. Ketika malam telah larut, ia mendengar suara nyanyian, maka ia pun berkata kepada pemilik rumah, ‘Hentikan nyanyian itu!’ Pemilik rumah pun terperanjat, ‘Kenapa engkau membenci nyanyian?’ Al-Huthai’ah menjawab, ‘Nyanyian adalah pendorong kepada perbuatan keji, dan aku tidak suka jika puteriku mendengarnya. Hentikan nyanyian itu, jika tidak aku akan keluar dari rumahmu sekarang juga!”
========================================
Suatu kali, Umar bin Abdul Azis menulis kepada guru akhlak dari puteranya, “Hendaknya yang pertama kali mereka yakini dari akhlak (yang engkau ajarkan) yaitu membenci berbagai bentuk nyanyian, yang awalnya adalah dari syetan dan berakhir dengan murka Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Sungguh telah sampai padaku dari orang-orang ahli ilmu terpercaya bahwa suara alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian juga keterpengaruhan dengannya bisa menumbuhkan nifaq di hati sebagaimana rumput tumbuh setelah disirami air.”*
=======================================
Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika
ia masih suka popularitas.
Yahya bin Muadz berkata: Tidak akan beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan.
Abu Utsman Sa`id bin Al-Haddad berkata:
Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila pujian
dan gila sanjungan.
===================================
Ar-Rabi` bin Shabih menuturkan: Suatu ketika, kami hadir dalam
majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba
salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: Demi
Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada
saat ini!
=======================================
`Aisyah berkata: Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak
diisi dengan istighfar. Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: Perbanyaklah
istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan
dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian
tidak tahu kapan turunnya ampunan!
=====================================
Ketika membaca firman Allah: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (QS. Al-
Ahzab : 33) `Aisyah menangis tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.
Demikian pula Ibnu Umar , ketika membaca ayat yang artinya: Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). (QS. Al-Hadid :
16) Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.
Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat yang
artinya: Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam. (QS. Al-Muthaffifiin : 5-6) Beliau menangis dan
bertambah keras tangis beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.
====================================
Pernah disebut-sebut tentang tawadhu` di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun
beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada
mereka: saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu`! Mereka berkata:
Apa itu tawadhu` wahai Abu Sa`id? Beliau menjawab: Yaitu setiap kali ia keluar
rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih
baik daripada dirinya.
============================
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin
Uyainah, ia berkata: Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih
senior dari kami.
Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: Apa itu tawadhu`? Ia menjawab: Yaitu
engkau tunduk kepada kebenaran!
Mutharrif bin Abdillah berkata: Tidak ada seorangpun yang memujiku kecuali
diriku merasa semakin kecil.
===============================
Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia melewati
seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata:
Apakah engkau gila! Umar menjawab: Tidak Namun para pengawal berusaha
meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya
berkata: Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak.
Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: Sesungguhnya Fulan telah
mencaci engkau! Ia menjawab: Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain
engkau!
===================================
Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: Aku tidak pernah
melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita
banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan, minuman, harta
dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka iapun akan
mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu dinar
apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab: Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu
gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang.
===================================
Ibnul Qayyim berkata :
“Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang meninggalkannya bukan karena Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya karena Allah, ia hanya merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia akan memperoleh kelezatannya”. (Al-Fawaid : 99)
===========================
Salah seorang murid Imam Ahmad bernama Abu Thalib mengatakan: “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (salah seorang ulama kala itu).” Maka Imam Ahmad berkata: “Saya meresa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya padahal Allah berfirman: “Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah berfirman . “Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (Fathul Majid: 466)
=============================================
Abdurrahman bin Harmalah mengisahkan, seseorang datang kepada Said bin Al Musayyib mengucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Said mengatakan kepadanya: “Jangan kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafik, kecuali seorang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.’ Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Said terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad Darimi 1/119, Ta’dhimus Sunnah hal. 31, Miftahul Jannah hal.134)
==============================================
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail At Taimi mengatakan, dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya barmalam.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim)
Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek: “Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.” Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.
At Taimy lalu berkata: “Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat jeleknya menyampaikan kepadanya.”
=============================================
Al Qadhi Abu Tayyib menceritakan kejadian yang ia alami, katanya: “Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia -orang itu bermadzhab Hanafi – mengatakan: ‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang loncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang mengatakan: ‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’ Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.
============================================
Berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali, pencatat Abu Zur’ah : “Kami mendatangi Abu Zur’ah di Ma’ Syahran (sebuah nama tempat) saat dia menghadapi sakratul maut, sementara disisinya terdapat Abu Hatim, Ibnu Warih dan Munzir bin Syazan serta yang lainnya. Lalu mereka menyebut-nyebut hadits tentang talqin :
“Talqinlah (tuntunlan) orang yang sedang menghadapi kematiannya dengan bacaan Laa ilaaha illallah “
Akan tetapi mereka agak sungkan untuk mentalqinkan Abu Zur’ah. Akhirnya mereka sepakat untuk meriwayatkan hadits tersebut. Maka berkatalah Ibnu Warih: “ telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih…. dan tatkala menyebut Ibnu Abi….., dia tidak dapat meneruskannya-, maka berkatalah Abu Hatim: “telah meriwayatkan kepada kami Bundaar dari Abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, kemudian dia tidak dapat meneruskannya juga, sementara yang lainnya terdiam saja, maka berkatalah Abu Zur’ah yang sedang dalam sakaratul maut seraya membuka matanya, : Telah meriwayatkan kepada kami Bundaar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid, dari Shalih Ibnu Abi Uraib dari Katsir bin Murroh dari Mu’az bin Jabal dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang akhir perkataannya La ilaaha illallah, maka dia akan masuk syurga” setelah itu ruhnya keluar dari dirinya. Semoga Allah merahmatinya
=====================================
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy]
======================================
Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/174 no. 315]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [Imam al-Aajury dalam as-Syari’ah I/445 no. 127, di-shahih-kan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar A’laam an-Nubalaa’ VII/120]
========================================
Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata: “Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109]
========================================
Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata: “Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/175-185 no. 317]
========================================
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelek di sisi Allah” [HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178)]
============================================
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa-iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204)]
==========================================
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, mengapa kita membenci kematian?!”
“(Itu) karena kita telah memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita, sehingga kita benci untuk keluar dari kemakmuran menuju kehancuran”, jawabnya.
“Engkau benar”, kata khalifah…kemudian beliau menyambung perkataannya, “Wahai Abu Hazim –seandainya aku tahu- apakah yang akan kita dapatkan di sisi Allah di hari esok (kiamat)?”
Abu Hazim menjawab, “Paparkanlah amalan engkau kepada Kitab Allah AWJ, niscaya engkau akan menemukan jawabannya.”
“Dimanakah aku bisa menemukannya dalam Kitab Allah ta’ala?” tanya khalifah.
Abu Hazim menjawab, “Engkau bisa menemukannya dalam firman-Nya yang maha tinggi, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Surat al-Infithaar: 13-14).
“Kalau demikian, dimanakah rahmat Allah?” tanya khalifah lagi.
Abu Hazim menjawab, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan”( Surat al-A’raf: 56).
Khalifah berkata, “Seandainya aku tahu, bagaimanakah kita besok akan menghadap Allah AWJ?.”
Abu Hazim menjawab, “Adapun orang yang berbuat baik, ia bagaikan orang yang pulang dari bepergian jauh mendatangi keluarganya (dipenuhi kerinduan untuk berjumpa, penj.)…Adapun orang yang berbuat jahat, Ia bagaikan budak yang kabur yang diseret menghadap tuannya dengan paksa (sehingga ia merasa ketakutan).”
Serta merta khalifah menangis, suara tangisannya meninggi dan bertambah keras. Kemudian beliau berkata, “Wahai Abu Hazim, bagaimana (caranya) agar kita menjadi baik?.”
“Tinggalkan takabbur dan berhiaslah dengan maruah (sopan santun)”, jawabnya.
Khalifah berkata lagi, “Adapun dengan harta ini, bagaimana jalan menuju takwa kepada Allah padanya?.”
Abu Hazim menjawab, “(Yaitu) apabila engkau mengambilnya dengan cara yang haq…menyerahkannya kepada yang berhak…engkau bagi secara merata dan engkau berbuat adil di antara rakyatmu.”
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, beritahukan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia?.”
“Mereka adalah orang yang memiliki maruah dan ketakwaan” jawabnya.
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, perkataan apakah yang paling adil?”
“Yaitu kalimatul haq yang diucapkan oleh seseorang dihadapan orang yang ia takuti (keburukannya) dan dihadapan orang yang ia harapkan (kebaikannya)” jawabnya.
Khalifah bertanya, “Doa apakah yang paling cepat dikabulkan wahai Abu Hazim?”
“Yaitu doa orang baik untuk orang-orang baik” jawabnya.
Khalifah berkata, “Shadaqah apakah yang paling utama?.”
Ia menjawab, “(Yaitu) hasil kerja keras orang yang memiliki sedikit harta yang ia letakkan (shadaqahkan) pada tangan orang yang fakir miskin tanpa diiringi dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaannya).”
Khalifah bertanya, “Siapakah orang yang paling cerdik dan berakal, wahai Abu Hazim?.”
“Yaitu seseorang yang mendapatkan (amal) berupa ketaatan kepada Allah ta’ala sehingga ia mengamalkanya, kemudian ia membimbing manusia kepadanya”, jawabnya.
“Dan siapakah orang yang paling tolol?” tanya khalifah lagi.
“Yaitu seseorang yang tunduk bersama hawa nafsu temannya sedangkan temannya adalah orang zalim, sehingga ia menjual akhiratnya dengan dunia orang lain” jawabnya.
Khalifah berkata, “Maukah kamu menemani kami –wahai Abu Hazim- sehingga kamu bisa mengambil (upah) dari kami dan kami bisa mengambil (nasehat) darimu.”
Ia menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”
“Mengapa?” tanya khalifah.
Ia manjawab, “Saya khawatirkan akan sedikit menyandarkan diri kepadamu, sehingga Allah akan menimpakan kepayahan dunia dan adzab akhirat kepadaku.”
Khalifah berkata, “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim.”
Ia terdiam dan tidak menjawab.
Khalifah lantas mengulang perkataannya “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim, niscaya kami akan menunaikannya untukmu, seberapa pun besarnya.”
Ia menjawab, “Hajatku adalah agar engkau menyelamatkan saya dari neraka dan memasukkan saya ke dalam surga.”
“Itu bukan wewenangku wahai Abu Hazim” kata khalifah.
Abu Hazim berkata, “Saya tidak memiliki hajat selain itu wahai Amirul Mukminin.”
Maka khalifah berkata, “Doakanlah aku wahai Abu Hazim.”
Ia pun berdoa, “Ya Allah, apabila hambamu Sulaiman termasuk wali-waliMu, maka permudahkanlah ia untuk (mengerjakan) kebaikan dunia dan akhirat…Namun, apabila ia termasuk musuh-musuhMu, maka perbaikilah ia dan tunjukilah ia kepada apa yang Engkau cintai dan ridlai.”
Maka, seseorang dikalangan para hadirin ada yang berkata, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan sejak kamu masuk menemui Amirul Mukminin…Kamu telah menjadikan khalifah muslimin termasuk musuh-musuh Allah dan kamu telah menyakitinya.”
Abu Hazim berkata, “Bahkan, alangkah buruknya apa yang kamu katakan, sungguh Allah telah mengambil janji dari para ulama agar mereka selalu mengatakan kalimatul haq, Allah berfirman, “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya.” (Surat Ali Imran: 187)
=====================================================
“Tidaklah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pecinta
meski ia mendapatkan cinta itu manis rasanya.
Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan, karena takut berpisah atau karena rindu dendam.
Ia menangis jika mereka jauh, sebab didera kerinduan.
Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan.
Air matanya mengalir saat bertemu.
Air matanya mengalir saat berpisah.”
===========================================
Ibnu Syuja’ Al-Kirman berkata, “Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti Sunnah, memakmurkan batiniah-nya dengan muraqabah (penjagaan kepada Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan salah.”
===========================================
Disebutkan apa yang dilakukan oleh sebagian ahli ilmu di negeri Afrika, “Bahwasanya di pinggir negeri itu terdapat mata air yang disebut dengan mata air penyembuhan. Orang-orang awam terkena fitnah olehnya, sehingga mereka berduyun-duyun dari berbagai negeri mendatanginya. Orang yang belum menikah, belum mempunyai anak akan dikatakan padanya, ‘Ikutlah aku ke mata air penyembuhan.’ Dari sini Al-Hafizh Abu Muhammad mengetahui bahwa di dalamnya ada fitnah. Maka beliau keluar di pagi buta dan melenyapkannya, lalu beliau adzan subuh di atasnya, selanjutnya berkata, ‘Sesungguhnya aku melenyapkan ini karena-Mu, karena itu janganlah Engkau jadikan ada orang yang masih memuliakannya’.” Dan memang setelah itu tidak ada lagi orang yang memuliakannya hingga sekarang.
===============================================
==================================================
Alkisah suatu saat Ismail Al-Qadhi masuk kepada khalifah Abbasiyyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama. Setelah membacanya dia berkomentar : “Penulis buku ini adalah zindiq, sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah, dan orang yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian, tidak ada seorang alim pun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar. [Siyar A’lam Nubala 13/465,Adz-Dzahabi]
==============================================
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang lelaki ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang lelaki berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Anak dari lelaki itu menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini sebagai sedekah dariku!”.
=====================================
Dzaadzan berkata :
“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud) berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engkau… engkau”.
Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.
Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]
=====================================================
Adalah Al-Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya dimana setiap hari ia mengadakan majelis ditempat itu. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam majelisnya dimana ahli dunia dan perdagangan mendatanginya. Dan ia lalai dengan menjelis Al-Hasan Al-Basri, dan tidak menoleh sedikitpun dengan apa yang disampaikan oleh Al-Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin mengetahui apa yang disampaikan Al-Hasan Al-Basri, maka dikatakan kepadanya : “Dalam majelis Al-Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga, neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah untuk akhirat). Maka perkataan ini menancap dalah hatinya, lalu ia pun berkata : “Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!”, maka berkatalah orang-orang yang duduk dalam majelis kepada Al-Hasan Al-Basri : “Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu nasehatilah ia. Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri dan Hasan Al-Basri menghadap kepadanya, lalu ia nasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan dengan syurga, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia. Maka Habib Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, lalu bersedekah 40 ribu dinar. Dan iapun berlaku qona’ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia” [Hilyatul Aulia 6/149 dengan sedikit perubahan, dan lihat Siyar ‘Alamun Nubala 6/144]
==============================================
Abu Nu’aim mengutip dalam kitab “Al-Hilyah” dengan sanadnya kepada Ibrahim bin Sulaiman Az-Zayyat, dimana ia berkata :
“Adalah kami berada disisi Sufyan Ats-Tsauri, lalu datanglah seorang wanita dan mengeluhkan anak laki-lakinya, wanita itu berkata : “Wahai Abu Abdullah saya mendatangimu agar engkau menasehatinya? Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : Ya, datangkan anakmu itu”. Kemudian perempuan itu datang bersama anaknya, maka Sufyan Ats-Tsauri pun menasehati anak itu, setelah selesai berpalinglah anak itu pergi. Maka kembalillah wanita tadi sesudah beberapa waktu dan berkata : “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abu Abdullah (Sufyan Ats-Tsauri)”, dan ia pun menceritakan perilaku anaknya yang ia sukai setelah mendapat nasehat Sufyan Ats-Tsauri.
Setelah beberapa lama, datanglah kembali wanita itu dan berkata : “Wahai Abu Abdullah, annakku tidak pernah tidur dimalam hari, dan pada siang hari ia berpuasa, tidak makan dan tidak pula minum. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsauri : “Celaka anda, mengapa ia berbuat demikian ?” Wanita itu menjawab : “Untuk mencari hadits”. Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Harapkanlah dirimu darinya pahala dari sisi Allah” [Hilyatul Aulia 4/65,66]
Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang ulama terkemuka, dan seorang yang banyak menyuruh kebaikan, tidaklah ia takut celaan orang yang suka mencela dijalan Allah, hingga berkata salah seorang diantara mereka ; “Adalah saya keluar bersama Sufyan Ats-Tsauri, maka hampir-hampir lisannya tidak putus dari menyuruh kebaikan dan melarang dari kemungkaran baik ketika pergi atau pulang” [Hilayatul Aulia]
=======================================================
Ada sebuah kisah menarik tentang kematian Imam ash-Shan’ani (w 1182H), yaitu beliau tertimpa sakit perut (mencret) yang menguras isi perut beliau .Keluarga beliau mencarikan obat tetapi tidak berguna sedikitpun.
Kemudian dibawakan 2 buah buku kepada beliau, yaitu Al-Insan Al Kamil karya Al Jili, dan al-Madhnun Bihi ‘Ala Ahlihi karya Al-Ghazali, yang beliau pernah berkomentar : “Aku tidak menganggapnya sebagai karya beliau. Buku ini hanyalah dinisbatkan secara dusta.” Kemudian imam Ash-Shan’ani berkata : “Kemudian aku menelaah buku tersebut, maka aku temukan buku tersebut berisi kekufuran yang nyata, maka aku perintahkan supaya kedua buku itu dibakar dengan api dan apinya digunakan untuk membuat roti untukku.” Kemudian beliau makan roti dengan niat sebagai obat,setelah itu beliau tidaklah merasa sakit.
==================================================
Pada biografi Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Ala Al Hamdani (w.248) ,Muthayan berkata :”Abu Kuraib berwasiat agar buku-buku karyanya dipendam, maka dilaksanakan wasiat beliau.”
Kemudian Adz-Dzahabi didalam Siyar 11/397 memberikan komentar : “Beberapa ahli hadits telah mewasiatkan agar buku-bukunya dipendam, dibakar, atau dicuci (dilunturkan tintanya), karena takut buku tersebut dipegang oleh muhaddits yang kurang agamanya, kemudian ia akan merubah-rubah dan menambahinya, kemudian hal itu dinisbatkan kepada Al-Hafidz (ahli hadits pemilik kitab). Atau didalam kitab itu terdapat riwayat yang putus atau lemah yang tidak pernah ia ceritakan, sedangkan yang telah ia riwayatkan adalah hal-hal yang telah dipilih. Maka ia pada akhirnya membenci hasil tulisannya, dan tidak ada jalan lain kecuali harus dimusnahkan.Karena hal ini dan lainnya ia memendam buku-bukunya.”
Syaikh Masyhur berkata : “Buku-buku yang penuh dengan racun kalajengking dan ular (yang berisi kejelakan dan kemungkaran) lebih layak untuk dipendam, dimusnahkan dan dibakar.
==============================================
Seseorang dari Afrika berkata : “Ada seorang syaikh, di antara syaikh Thariqah Sufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendo’akan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia memohon kepada Allah, agar Allah menimpakan kerburukan kepadanya …dan seterusnya”. Do’a yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid.
Seorang Afrika tadi berkata : “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia (syaikh Sufi) berkata kepadaku : ‘Kitab apa ini ?’. Aku jawab : ‘Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama’. Dia berkata : ‘Bolehkah aku membacanya?’. Maka seolah-olah aku berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Aku lalu memberikannya, dan berkata : “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang alim yang agung, sehingga aku mendapatkan manfaat”.
Maka besoknya dia kembali, lalu syaikh itu mengatakan : “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Didalamnya hanya ada firman Allah dan sabda Rasul. Siapakah yang menyusunnya ?” Dia menjawab : “Inilah penyusunnya, orang yang selalu engkau do’akan kecelakaan pada waktu malam dan siang”. Maka syaikh itu bertaubat kepada Allah saat itu juga. Dahulu dia selalu mendo’akan kecelakaan untuknya, kemudian dia lalu mendo’akan kebaikan untuknya. Inilah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
======================================================
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.”
Ini adalah penjelasan bahwa allah berada di atas langit, dan bantahan bagi yang menganggap allah ada dimana-mana, atau yang menganggap Allah tidak bertempat.
=======================================================
Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu menyahut, “Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi.”
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)
=========================================================
Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, “Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semuanya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)
1 dinar sama dengan kira-kira 4,25 gram emas murni, sekitar 500ribu rupiah
1 dirham sama dengan kira-kira 3,3 gram perak, sekitar 10ribu rupiah
=========================================================
Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,”Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, “Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, “Ini keseluruhan yang aku miliki.” (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)
=========================================================
Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Min-talah apa saja yang kau kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, “Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan.” (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
=========================================================
Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana hasrat tuan terhadap ilmu?”Beliau manjawab, “Saya seperti mendengar kata-kata yang tidak pernah saya dengar. Saya bahkan ingin agar saya punya banyak pendengaran, supaya bisa menikmati seperti yang dinikmati oleh kedua telinga saya”. “Bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab,“Seperti rakusnya pencari harta yang mencapai puncak kenikmatan karena hartanya.’ ‘Bagaimana tuan mencari ilmu?’ beliau menjawab ‘Seperti seorang ibu yang bingung mencari anaknya, yang semata wayang’. Ibnu Asakir dalam menceritakan Abu Manshur Muhammad bin Husain An-Naisaburi berkata, ‘Beliau terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, meski dalam kondisi fakir. Bahkan beliau mengulangi dan menulis pelajarannya di bawah sinar rembulan, karena tidak mampu membeli minyak lampu.’
Ibnu Katsir berkata, ‘Ilmu tidak bisa diperoleh dengan leha-leha.’ Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, ‘Untuk menuntut ilmu hadits, saya mengalami kencing darah dua kali, pertama di Baghdad dan kedua di Makkah. Hal itu karena saya berjalan dengan kaki telanjang di tengah sengatan terik matahari. Saya tidak pernah naik kendaraan saat mencari hadits kecuali sekali, dan saya selalu membawa kitab-kitab di punggung saya.’ Sementara Imam Baqi bin Mukhallad Al-Andalusi pada tahun 221H berjalan kaki dari Andalus (Spanyol) ke Baghdad untuk menemui dan belajar kepada Imam Ahmad.
====================================================
Ahmad bin Ibrahim Al-Abbas berkata, ‘Ketika sampai berita wafatnya Imam Muhammad Ar-Razi, saya masuk kamar dan menangis. Keluargaku mengerumuniku dan bertanya, ‘Apa yang menimpamu?’ ‘Imam Muhammad Ar-Razi telah wafat, kalian melarangku ke sana untuk menuntut ilmu,’ jawab-ku. Akhirnya mereka mengizinkanku mencari ilmu kepada Syaikh Hasan bin Sinan.’
Abu Ali Al-Farisi berkata: ‘Terjadi kebakaran besar di Baghdad, semua kitabku terbakar, padahal saya menulisnya dengan kedua tanganku. Selama dua bulan saya tidak kuasa berbicara dengan seorang pun, karena kesedihan dan duka yang dalam, bahkan beberapa saat saya dalam keadaan linglung.’ Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata, ‘Saya ingat, saya pernah ketinggalan tidak mendengar satu hadits dari Syaikh saya, sehingga saya sakit (karena sangat menyesal dan sedih akibat ketinggalan tersebut).
=================================================
Dikisahkan, Imam Asad bin Al-Furat melakukan perjalanan ke Iraq untuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani Rahimahullaah. Imam Asad berkata, “Saya orang asing dan bekalku hanya sedikit, bagaimana agar saya bisa belajar lebih dari sekedar mengikuti kajian tuan?” Syaikh Asy-Syaibani menjawab, “Tetaplah ikut kajian pada siang hari, dan saya khususkan waktu malam untuk mengajarimu sendirian. Menginaplah di rumahku dan kamu akan saya ajari ilmu’. Imam Asad berkata, “Maka saya pun menginap di rumah beliau, beliau mendatangiku dengan membawa seember air. Beliau lalu membacakan ilmu untukku, jika malam telah larut dan aku mengantuk, beliau mengambil air dan memercikkannya ke mukaku, sehingga saya bersemangat lagi. Demikian terus berlalu, sehingga saya selesai belajar ilmu apa saja yang saya inginkan.”
Abul Qasim Al-Muqri’ berkata, Imam Al-Hazimi senantiasa menelaah kitab dan mengarang hingga terbit fajar. Seseorang kemudian berkata kepada pembantunya, ‘Jangan kamu berikan minyak untuk pelitanya, barangkali beliau istirahat malam itu.’ Ketika malam tiba, Imam Al-Hazimi meminta minyak kepada pembantunya. Lalu dijawab, minyaknya telah habis. Imam Al-Hazimi lalu masuk ke rumahnya dan shalat di dalam kegelapan malam sampai terbit fajar.’
=======================================================
====================================================
Shilah ibn Asyam pernah keluar ke daratan di tanah Bashrah untuk khalwah (menyepi) dan beribadah…
Lalu sekelompok pemuda yang akan bersenang-senang melewatinya…
Mereka bermain-main…bersendau gurau dan bergembira…
Ia (Shilah) menyalami mereka dengan halus…
Dan dengan lembut ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang suatu kaum yang ber’azm (bertekad) untuk safar (bepergian) karena suatu urusan besar, hanya saja mereka di waktu siang berbelok dari jalan untuk berbuat sia-sia dan bermain-main….dan di waktu malam mereka tidur untuk istirahat. Maka kapankah kalian melihat mereka menyelesaikan perjalanannya dan sampai di tempat tujuan?!”
Dan ia terbiasa mengucapkan kalimat tersebut di saat itu dan pada saat yang lain…
Pada suatu ketika ia bertemu dengan mereka dan ia mengucapkan kata-katanya tersebut kepada mereka…
Maka, salah seorang pemuda dari mereka bangkit dan berkata, “Sesungguhnya dia –demi Allah- tidak memaksudkan perkataannya kepada siapapun selain kita. Kita di siang hari bermain-main….dan di malam hari tidur…”
Kemudian pemuda tersebut memisahkan diri dari teman-temannya dan mengikuti Shilah ibn Asyam sejak hari itu. Ia terus menemaninya hingga kematian menjemputnya.
=========================================
Pada suatu siang Shilah ibn Asyam pernah pergi bersama sekelompok sahabatnya kepada suatu tujuan. Lalu lewatlah di depan mereka seorang pemuda yang menakjubkan dan bagus penampilannya….
Pemuda tersebut memanjangkan kain celananya sampai dibawah mata kaki hingga ia menyeretnya di tanah seperti orang sombong…
Para sahabat Shilah lalu bermaksud (melakukan tindakan) terhadap pemuda tersebut, mereka ingin mencemoohnya dengan perkataan dan memukulnya dengan keras…
Maka Shilah berkata kepada mereka, “Biarkan aku, yang akan menyelesaikan urusannya.”
Ia mendekati pemuda tersebut dan berkata dengan kelembutan seorang ayah yang penuh sayang…dan bahasa seorang sahabat yang jujur, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku punya hajat kepadamu.”
Pemuda itu berhenti, dan berkata, “Apa itu wahai paman?”
Ia berkata, “Hendaklah kamu mengangkat kainmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih suci untuk pakaianmu…lebih bertakwa kepada Rabbmu…dan lebih dekat dengan sunnah Nabimu.”
Dengan rasa malu pemuda itu berkata, “Ya, dengan senang hati…”
Kemudian ia segera mengangkat kainnya.
Shilah berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya yang seperti ini lebih baik daripada apa yang kalian inginkan…kalau seandainya kalian memukulnya dan mencemoohnya niscaya ia akan memukul dan mencemooh kalian…dan tetap membiarkan kainnya menjulur menyapu tanah.”
=============================================
Pada suatu kali seorang pemuda dari Bashrah mendatangai Shilah ibn Asyam dan berkata, “Wahai Abu ash-Shahbaa, ajari aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Maka Shilah tersenyum dan berseri wajahnya, dan ia berkata, “Sungguh kamu telah mengingatkan aku -wahai anak saudaraku- tentang kenangan lama yang tidak aku lupakan…dimana pada saat itu aku seorang pemuda sepertimu…Aku mendatangi orang yang tersisa dari sahabat Rasulullah SAW, dan aku berkata kepada mereka, “Ajarilah aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian.” Mereka berkata, “Jadikanlah al-Qur’an sebagai penjaga jiwamu dan kebun hatimu. Dengarkan nasehatnya dan nasehatilah kaum muslimin dengannya. Perbanyaklah berdoa kepada Allah semampumu.”
Anak muda itu berkata, “Berdoalah untukku, semoga engkau dibalasi dengan kebaikan.”
Ia menjawab, “Semoga Allah menjadikanmu senang (antusias) untuk memperoleh yang kekal (akhirat)…dan menjadikanmu zuhud terhadap yang fana (dunia)…dan menganugrahkan keyakinan kepadamu yang mana jiwa menjadi tenang kepadanya, dan dibutuhkan kepadanya dalam agama.”
=========================================
Suatu kali AL-QASIM IBN MUHAMMAD IBN ABI BAKAR pernah terlihat di Mina. Dan para penduduk negeri dari orang-orang yang berhaji ke baitullah mengerumuninya dari segala sisi dan menanyainya.
Ia menjawabi mereka dengan apa yang ia tahu, dan pada apa yang ia tidak tahu, ia mengatakan, “Aku tidak tahu…aku tidak mengerti…aku tidak faham.” Mereka pun dibuat heran dengannya.
Ia lalu berkata, “Aku tidak tahu seluruh apa yang kalian tanyakan…kalau aku mengetahuinya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya…dan tidak halal bagiku untuk menyembunyikannya. Dan (ketahuilah) seseorang hidup dalam keadaan bodoh –setelah mengetahui hak Allah atasnya- adalah lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa yang ia tidak mengetahuinya.”
====================================
Al-Qasim ibn Muhammad telah diberi umur hingga lebih dari tujuh puluh dua tahun. Akan tetapi matanya menjadi buta di saat ia berusia lanjut.
Pada akhir tahun dari kehidupannya, ia menuju ke Mekkah menginginkan haji…dan di tengah perjalanan kematian menjemputnya.
Ketika ajalnya sudah dekat, ia menoleh kepada anaknya dan berkata, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaianku yang aku shalat dengannya, yaitu gamisku…sarungku…dan kainku…itu adalah kafan kakekmu Abu Bakar. Kemudian ratakan kuburanku dan pulanglah kepada keluargamu. Dan hati-hatilah (janganlah kamu) berdiri di atas kuburanku dan berkata, “Dahulu ia begini…dan dulu ia begitu….”, karena aku bukanlah siapa-siapa”.
======================================================
Maslamah bin Abdul Malik bersama pasukannya mengepung salah satu benteng Romawi. Sementara tidak ada jalan masuk ke dalam benteng kecuali satu pintu. Setelah pengepungan berlalu sekian lama, Maslamah berseru di tengah pasukannya, “Siapa yang berani menerobos pintu, maka jika dia mati saat menerobosnya, maka dia akan mendapatkan surga, insya Allah. Jika dia selamat, maka tanah yang ada di balik pintu itu patut diserahkan kepadanya, lalu dia harus membuka pintu itu agar pasukan Islam dapat masuk ke dalam benteng sebagai pemenang.”
Ada seorang prajurit berdiri, yang mukanya ditutup kain, seraya berkata,”Aku akan melakukannya wahai Amir.”
Akhirnya umat islam memenangkan peperangan itu.
Selama tiga hari Maslamah bin Abdul Malik bertanya-tanya, “Siapakah orang yang mengenakan tutup muka? Siapakah yang telah membuka pintu benteng?” Tak seorang pun yang bangkit.
Pada hari ketiga dia berkata, “Aku bersumpah agar orang yang mengenakan tutup muka menemui aku, kapan pun waktunya, siang atau malam.”
Maka pada tengah malam ada yang mengetuk pintu tendanya. Maslamah bertanya,”Engkaukah orang yang mengenakan tutup muka?”Orang itu menjawab, “Dia meminta tiga syarat sebelum engkau melihatnya.”"Apa itu?” tanya Maslamah.
“Engkau tidak boleh mengumumkan namanya kepada orang-orang, engkau tidak boleh memberinya imbalan apa pun dan engkau tidak boleh melihatnya sebagai orang yang memiliki keistimewaan,” kata orang itu. Dengan kata lain, dia tidak menginginkan apa-apa.”Aku terima,” kata Maslamah. Orang itu berkata, “Memang akulah orang yang mengenakan tutup muka itu.”
Maka Maslamah langsung menghampiri dan memeluknya. Maka di antara doa Maslamah, “Ya Allah, himpunkan aku bersama orang yang mengenakan tutup muka. Ya Allah, himpunkan aku bersama orang yang mengenakan tutup muka.
=======================================================
Amr bin Qais Al Mala’y berpuasa selama dua puluh tahun, sementara keluarganya tidak mengetahuinya. Dia mengambil makan siangnya lalu pergi ke tokonya, lalu dia menshadaqahkan makan siangnya itu dan dia sendiri berpuasa, sementara keluarganya tidak mengetahui hal itu.
===================================================
Dari Abu Hamzah Ats Tsumaly, bahwa Ali bin Al Husain membawa roti di atas punggungnya pada malam hari lalu mencari orang-orang miskin di kegelapan malam. Dia berkata, “Sesungguhnya shadaqah yang diberikan pada kegelapan malam dapat memadamkan kemurkaan Allah.”
Dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata, “Penduduk Madinah hidup dengan makanan itu, sementara mereka tidak tahu siapa yang telah memberi makanan itu kepada mereka. Setelah Ali bin Husain meninggal dunia, maka mereka tidak lagi mendapatkan makanan pada malam hari.”
Dari Amr bin Tsabit, dia berkata, “Setelah Ali bin Al Husain meninggal dunia, orang-orang melihat bekas punggungnya, yaitu bekas kantong makanan yang biasa dia panggul untuk diberikan kepada para wanita janda.”
Syaibah bin Nu’amah berkata, “Setelah Ali bin Al Husain meninggal dunia, orang-orang mendapatkan seratus keluarga yang dia santuni. Karena itulah dia dianggap orang bakhil. Pasalnya, dia menyalurkan infaq secara rahasia, sementara keluarganya mengira dia menumpuk dirham. Sebagian diantara mereka berkata, “Kami tidak pernah kehilangan shadaqah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi hingga Ali meninggal dunia.”
=================================================
Al Hasan al Bashri bila datang ke pasar dan mendengar hiruk pikuk orang orang di sana, ia berkata, “Aku mengira malam mereka adalah malam yang buruk (karena tidur nyenyak dan tidak bertahajjud), mengapa mereka tidak tidur tengah hari?”
=============================================
Al Mughirah berkata, “Aku pernah keluar pada suatu malam setelah orang orang benar benar telah tertidur, lalu aku melintasi Malik bin Anas, aku melihatnya tengah berdiri melakukan shalat. Tatkala dia selesai dari bacaan al Faatihah, dia mulai membaca surat at Takaatsur:
‘Bermegah megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar benar akan melihat Neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah megahkan di dunia itu).’
Lalu dia menangis cukup lama dan kemudian dia pun mengulangi ayat ini dan kembali menangis. Apa yang aku dengar dan aku lihat dari sosok Malik ini telah membuatku melupakan keperluanku yang membuatku keluar untuknya. Tiada henti hentinya aku berdiri, sedangkan dia tetap mengulang ulang ayat tersebut dan menangis hingga terbit fajar. Tatkala dia melihat fajar telah jelas, barulah dia ruku’. Kemudian aku pulang ke rumahku, lalu aku berwudhu’ dan kemudian pergi ke masjid, tiba tiba Malik sudah berada di tempatnya (di masjid) dan jama’ah ada di sekelilingnya. Tatkala memasuki waktu Shubuh, aku melihat pada wajahnya tampak cahaya dan keindahan darinya.”
============================================
Dihikayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan bahwa keduanya melihat seorang laki-laki sedang berjalan ke arah mereka, lalu masing-masing mereka menebak pekerjaan orang tersebut. Kata imam asy-Syafi’i, “Dia itu seorang tukang kayu.” Muhammad bin al-Hasan berkata, “Dia itu seorang pandai besi.” Begitu orang itu mendekat, keduanya bertanya kepadanya mengenai pekerjaannya, maka ia menjawab, “Dulu profesiku pandai besi tapi sekarang sudah berprofesi sebagai tukang kayu.”
2. Seorang laki-laki yang dulunya pandai baca al-Qur’an bertanya kepada sebagian ulama, lalu mereka berkata kepadanya, “Duduklah, sebab aku mencium dari ucapanmu bau ‘kekufuran’.” Tak berapa lama setelah itu, orang tersebut muncul lagi, tapi sudah masuk agama Nasrani, wal ‘iyaadzu billah. Lalu ia ditanya, “Adakah ayat al-Qur’an yang masih kamu hafal?.” Ia menjawab, “Aku tidak hafal kecuali satu ayat saja, ‘Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim.’” (al-Hijr:2)
3. Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Di Masjid Haram Mekkah, aku melihat seorang laki-laki miskin yang tidak memiliki apa-apa dan hanya mengenakan pakaian yang menutup auratnya saja. Karena kondisinya itu, aku menghindarinya dan diriku jijik terhadapnya. Lalu ia memfirastiku seraya melantunkan firman Allah, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya.” (al-Baqarah:235) Maka aku pun menyesali atas sikapku tersebut dan memohon ampun kepada Allah. Lalu ia melantunkan ayat lagi, “Dan Dia-lah Yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan…” (asy-Syura:25)
(SUMBER: Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, juz II, hal.71-72)
================================================
Qadhi Abu ath-Thayyib berkata, “Suatu hari kami mengikuti pengajian di Jami’ al-Manshur. Lalu datanglah seorang pemuda dari Khurasan yang mengetengahkan salah satu hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah. Setelah membacanya, ia mengomentari, “Hadits ini tidak dapat diterima…” Maka, belum lagi ia selesai bicara, tiba-tiba dari atas atap jatuh seeokor ular sehingga orang-orang bangun dan berhamburan ke luar, tak terkecuali pemuda tersebut namun anehnya, ular itu hanya membuntutinya. Ketika itu, ada orang yang menasehatinya, “Ayo, bertobatlah, bertobatlah.!!!” Maka anak muda itu pun mengatakan, “Aku bertobat kepada Allah.” Seketika, ular itu pun menghilang entah ke mana.”
===============================================
Kisah ini diceritakan oleh Syaikh ‘Abdullah al-Mathruud, Imam masjid Haram, Mekkah, di dalam sebuah kaset berjudul, “Penghuni Rumah Angkat Bicara” tepatnya, sehabis berziarah ke Daar an-Naqaahah yang menangani perawatan kondisi-kondisi parah, di sebuah propinsi di Kerajaan Arab Saudi.
Seorang pemuda berusia 27 tahun yang kondisinya tidak dapat lagi duduk untuk selama-lamanya berkisah, “Suatu ketika ibuku berkata kepadaku, ‘Tolong antarkan ibu ke rumah salah seorang kerabat kita.”
Mendengar itu, aku jadi kesal lalu berbicara kasar terhadapnya. Namun beliau mengulangi lagi, “Aku mohon padamu, wahai anakku, tolong antarkan aku ke rumah mereka sebab ada hak mereka yang harus aku berikan. Itulah tujuanku mengunjungi mereka.”
Lalu aku berkata padanya, “Baiklah, tapi ada syaratnya; aku akan mengantarkan ibu ke sana lalu pulang dan akan datang lagi tepat setelah setengah jam kemudian. Nanti aku akan membunyikan klakson mobil satu kali, kalau ibu tidak keluar, maka aku akan pergi dan meninggalkan ibu di sini.”
Akhirnya sang ibu naik dan jadi pergi ke rumah kerabatnya bersama sang anak. Dan setelah berlangsung setengah jam tepat, sang anak pun datang dan membunyikan klakson mobilnya satu kali namun sang ibu tidak keluar-keluar. Maka, ia pun pergi dan meninggalkan sang ibu.
Dalam perjalanannya tersebut, mobil dilarikan dengan kecepatan tinggi hingga terjadilah kecelakaan atas dirinya. Akibat kejadian itu, ia kini tidak bisa lagi duduk untuk selama-lamanya. Ia hanya bisa berbaring terlentang atau telungkup dan tidak dapat menggerak-gerakkan anggota badannya selain kepala saja.
Komentar Penulis Buku:
Inilah balasan yang didapat oleh sang anak yang durhaka akibat perbuatannya sendiri. Kita berdoa semoga ia cepat sembuh dan dapat belas kasih Allah.
(SUMBER: Abnaa` Yu’adzdzibuun Aabaa`ahum karya Ahmad Muhammad Sinan, Bag.II, h.25-26)
===================================================
================================================
Kisah Abu Hazim Salamah ibn Dinar
Abdurrahman bertanya, “Bagaimanakah trik mendapatkan hati yang selalu terjaga wahai Abu Hazim?.
Ia menjawab, “Ketika hati diperbaiki maka dosa-dosa besar terampuni… dan jika seoang hamba bertekad meninggalkan dosa, maka ia akan diliputi hati yang selalu terjaga. Jangan lupa wahai Abdurrahman bahwa kemewahan dunia akan menyibukkan hati dari kenikmatan akhirat… setiap nikmat yang tidak menjadikanmu dekat dengan Allah maka itu adalah bencana.”
Anak Abdurrahman berkata, “Sesungguhnya syaikh kami banyak dan kepada siapakah kami berteladan.”
Abdurrahman menjawab, “Wahai anakku, teladanilah syaikh yang paling takut kepada Allah secara sembunyi-sembunyi dan menahan diri dari mengumbar aib… memperbaiki dirinya sejak masa muda dan hal itu tetap berlangsung hingga masa tua. Ketahuilah wahai anakku, tidaklah mentari bersinar di pagi hari melainkan pada hari itu nafsu dan ilmu akan menghampiri penuntut ilmu, lalu keduanya saling bertarung dalam dadanya dengan dahsyatnya… jika ilmunya mengalahkan nafsunya maka hari itu adalah hari keberuntungannya… tetapi jika nafsunya yang mengalahkan ilmunya maka hari itu adalah hari kerugiannya. “
Abdurrahman berkata, “Seringkali anda menasihati kami untuk bersyukur wahai Abu Hazim, apa sebenarnya hakikat syukur itu?.”
Ia mengatakan, “Tiap-tiap anggota dari tubuh kita, punya hak untuk kita syukuri.”
Abdurrahman berkata, “Bagaimana (cara) bersyukurnya kedua mata?.”
Ia menjawab, “(Yaitu) bila kamu melihat kebaikan dengan keduanya maka kamu mengumumkannya, dan bila kamu melihat keburukan maka kamu menutupinya.”
Abdurrahman berkata lagi, “Bagaiman (cara) bersyukurnya kedua telinga?.”
Ia menjawab, “Bila kamu mendengar kebaikan dengannya maka kamu memahaminya, dan bila kamu mendengar keburukan maka kamu menimbunnya.”
“Bagaimana (cara) bersyukurnya kedua tangan?” kata Abdurrahman lagi.
Ia menjawab, “Hendaklah kamu tidak mengambil apa yang bukan milikmu dengannya…hendaklah kamu tidak melarang hak dari hak-hak Allah dengannya…dan janganlah terlewatkan olehmu wahai Abdurrahman, bahwa orang yang hanya bersyukur dengan lisannya dan tidak mengikut sertakan seluruh anggota badan dan hatinya bersamanya…maka perumpamaannya adalah sama dengan orang yang memiliki kain (baju), tetapi ia hanya memegang ujungnya dan tidak mengenakannya…Maka yang demikian itu tidaklah melindunginya dari panas dan tidak pula membentenginya dari dingin.”
==========================================================================
Pada suatu tahun, Salamah ibn Dinar berangkat bersama pasukan muslimin menuju negeri Romawi mengharapkan jihad fisabilillah bersama para mujahid.
Tatkala pasukan telah sampai di akhir perjalanan, maka ia memilih untuk beristirahat sebelum menghadapi musuh dan masuk ke medan pertempuran.
Di tengah-tengah pasukan ada seorang amir (pemimpin) dari umara Bani Umayyah, kemudian ia mengirim seorang utusan kepada Abu Hazim dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya pemimpin kita mengundangmu untuk menemuinya agar kamu menceramahinya dan memahamkannya (tentang agama).”
Kemudian ia pun menulis surat yang ditujukan kepada amir tersebut yang berbunyi, “Wahai amir, sungguh aku telah menjumpai ahlul ilmi sedangkan mereka tidak membawa agama ini kepada ahli dunia. Dan aku tidak berprasangka anda ingin agar aku menjadi orang yang pertama kali melakukan hal tersebut. Apabila engkau punya hajat kepada kami, maka datangilah kami, dan semoga keselamatan tercurahkan kepadamu dan orang-orang yang bersamamu.”
Ketika amir (selesai) membaca suratnya, ia lantas pergi menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya serta mendoakannya. Ia berkata, “Wahai Abu Hazim, sungguh kami telah membaca apa yang kamu tulis untuk kami, sehingga bertambahlah kemuliaanmu dan ‘izzahmu di sisi kami. Berilah peringatan kepada kami dan nasehatilah kami, semoga kamu diberi balasan atas kami dengan sebaik-baik balasan.”
Maka mulailah Abu Hazim menasehati dan mengingatkannya. Dan di antara apa ia katakan kepadanya (yaitu) “Lihatlah kepada apa yang engkau sukai untuk bisa menemanimu di akhirat, maka bersungguh-sungguhlah agar engkau mendapatkannya di dunia…Lihatlah kepada apa yang engkau benci untuk menjadi temanmu di akhirat, maka zuhudlah terhadapnya ketika engkau di dunia…Ketahuilah wahai amir, sesungguhnya apabila kebathilah telah dibuat menarik dan menjadi laku (laris) di sisimu, niscaya ahli kebathilan dan orang-orang munafik akan menemuimu dan berkumpul di sekitarmu. Dan apabila al-haq telah dibuat menarik dan ia menjadi laku (laris) di sisimu, niscaya ahlul khair akan berkumpul di sekelilingmu, dan mereka akan menolongmu untuk memenangkannya. Maka pilihlah apa yang kau sukai untuk dirimu.”
Tatkala kematian menjemput Abu Hazim al-A’raj, para sahabatnya berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Hazim?”
Ia menjawab, “Andaikan kita selamat dari keburukan apa yang kita dapatkan dari dunia, maka tidaklah akan membahayakan kita sesuatu yang kita dihindarkan darinya”, kemudian ia membaca sebuah ayat yang mulia, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (Surat Maryam: 96)…ia terus saja mengulang-ulangi ayat tersebut hingga ajal menjemputnya
==================================================================
Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata,
“Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.”
Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?”
Orang itu menjawab, “Begini dan begini.”
“Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata,
“Aku punya pakaian yang kamu pesan.”
Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah,
“Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah.
Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?”
“Ya,” kata Abu Hanifah
Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”
Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”
==========================================================
Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”
Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”
============================================================
Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”
Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”
=========================================================
Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”
Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.
=======================================================
Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang kejelekan musuhnya.” Maka Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.”
====================================================
Alkisah suatu hari Rasulullah melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Seketika, Rasulullah mencabut cincin tersebut dari jari lelaki tersebut, dan melemparkannya sambil bersabda, “Seseorang dari kalian sengaja mengenakan batu neraka pada tangannya”.
Ketika Rasulullah telah pergi, salah seorang sahabat menyuruh lelaki pemakai cincin tadi untuk mengambil cincinnya kembali. Ia menyarankan agar bisa menggunakan untuk keperluan lain, atau menjualnya. Tetapi lelaki itu menolak. “Demi Allah, aku tidak akan mengambil, karena cincin itu telah dibuang Rasulullah”.
Padahal, Rasulullah tidak melarang lelaki tersebut untuk memanfaatkan cincin tersebut pada kepentingan lain. Ia hanya melarang memakainya. Tetapi, si lelaki tersebut enggan mengambil cincin itu kembali, atas dasar cintanya kepada Rasulullah dan keinginan untuk menambah ketaatan dirinya kepada Rasulullah.
Sebenarnya cincin itu bisa digunakan untuk keperluan lain. Yang dilarang, hanyalah pemakaian cincin tersebut di kalangan lelaki. Sementara bagi wanita, cincin tersebut halal dipakai sebagai sarana berhias dan mempercantik diri.
Ket: tapi syaikh albani mengharamkan pemakaian emas melingkar bagi wanita
==============================================================
Ali bin Fudhail berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, betapa manisnya perkataan para Sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
Ayahnya berkata, “Wahai anakku, apakah kamu mengetahui apakah yang menyebabkan perkataan mereka menjadi manis?”
Ali menjawab, “Tidak wahai ayahku.”
Ayahnya berkata, “Karena dengan perkataan tersebut mereka menginginkan Alloh.”
Abdullah bin Muhammad bin Munazzil bercerita, bahwa Hamdun bin Ahmad pernah ditanya : “Kenapa perkataan salaf lebih bermanfaat daripada perkataan kita?”
Hamdun menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan jiwa-jiwa dan keridhaan ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan ketenaran di hadapan manusia.”
====================================================================
Suatu hari Abdullah bin Rawahah hendak pergi ke masjid. Beberapa meter sebelum sampai di masjid, ia mendengar Rasulullah dalam khutbahnya memerintah, “Duduklah kalian semua!”. Serta-merta, Abdullah bin Rawahah duduk, saking taatnya kepada perintah Rasulullah. Padahal, waktu itu ia belum sampai di masjid. Abdullah tetap duduk, sampai Rasulullah selesai berkhutbah.
Adapun sebab Rasulullah memerintahkan duduk, karena beliau melihat beberapa sahabat berdiri sewaktu beliau berkhotbah.
Lalu dikatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, lihatlah Abdullah bin Rawahah. Ia mendengar engkau memerintah duduk, lalu seketika ia duduk di tempatnya”.
Kemudian Rasulullah berkata kepada Abdullah bin Rawahah, “Semoga Allah menambah semangatmu untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya”.
=========================================================
Alkisah ada dua orang bersaudara yang terkenal jago syair, Ka’ab bin Zuhair dan Bujair, mendengar risalah baru yang didakwahkan oleh Nabi. Bujair berkata kepada saudaranya, “Tunggulah. Aku akan pergi menemui orang itu (Nabi), untuk mendengar apa yang dikatakannya”.
Ketika sampai di hadapan Nabi dan mendengar apa yang diucapkan, Allah memberikan hidayah padanya. Bujair masuk Islam. Mengetahui saudaranya masuk Islam, Ka’ab marah, lalu merangkai syair yang isinya menghujat Nabi. Isi syair itu sampai ke telinga Nabi, yang kemudian membolehkan Ka’ab untuk dibunuh. Bujair memberitahu ancaman Nabi, sambil berusaha menasehatinya untuk meminta maaf kepada Nabi, dan masuk Islam. Namun semuanya ditolak Ka’ab. Ia kemudian melarikan diri.
Hari-hari pun berlalu. Dalam pelariannya, Allah membuka hati Ka’ab, untuk menerima Islam. Ia lalu datang menemui Nabi, dan berbaiat kepadanya untuk masuk Islam, sekaligus meminta maaf. Ia merangkai syair yang isinya memuji Nabi,
Inilah Rasul yang datang membawa cahaya,
Mengasah pedang-pedang Allah yang terhunus
Aku dengar Rasulullah telah mengancamku,
Namun ampunan darinya, tetap kuharap
Selesai mengucapkan syair itu, Nabi mengalungkan selendangnya kepada Ka’ab, dan mengampuninya.
=============================================================
Yazid bin Al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Waspadalah kalian dari nyanyian, karena ia bisa mengurangi rasa malu, menghancurkan kepribadian, dan ia adalah pengganti khamar, sehingga membuat orang berbuat seperti orang mabuk, jika engkau terpaksa harus melakukannya maka jauhilah wanita, karena nyanyian mendorong kepada zina.”
==========================================
Muhammad bin Al-Fadhl Al-Azdi berkata, “Suatu kali Al-Huthai’ah bersama seorang puterinya menginap di suatu rumah orang Arab gunung. Ketika malam telah larut, ia mendengar suara nyanyian, maka ia pun berkata kepada pemilik rumah, ‘Hentikan nyanyian itu!’ Pemilik rumah pun terperanjat, ‘Kenapa engkau membenci nyanyian?’ Al-Huthai’ah menjawab, ‘Nyanyian adalah pendorong kepada perbuatan keji, dan aku tidak suka jika puteriku mendengarnya. Hentikan nyanyian itu, jika tidak aku akan keluar dari rumahmu sekarang juga!”
========================================
Suatu kali, Umar bin Abdul Azis menulis kepada guru akhlak dari puteranya, “Hendaknya yang pertama kali mereka yakini dari akhlak (yang engkau ajarkan) yaitu membenci berbagai bentuk nyanyian, yang awalnya adalah dari syetan dan berakhir dengan murka Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Sungguh telah sampai padaku dari orang-orang ahli ilmu terpercaya bahwa suara alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian juga keterpengaruhan dengannya bisa menumbuhkan nifaq di hati sebagaimana rumput tumbuh setelah disirami air.”*
=======================================
Ayub As-Sakhtiyani berkata, “Jika orang-orang shalih disebut maka aku adalah orang yang terasing.”
===============================================
Ketika Sufyan Ats-Tsauri dalam sakaratul maut, Abul Asyhab dan Hammad bin Salamah masuk kepadanya. Hammad berkata kepada Sufyan, “Wahai Abu Abdillah, bukankah engkau sudah merasa aman dari sesuatu yang engkau takuti? Dan engkau telah melakukan apa yang engkau harapkan, sedangkan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” Sufyan menjawab, “Wahai Abu Salamah, apakah engkau mengharapkan orang seperti aku ini bisa selamat dari neraka?” Ia menjawab, “Ya, demi Allah, sungguh aku mengharapkanmu demikian.”
===============================================
Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan seratus ciri kebaikan, aku tidak tahu apakah dalam diriku terdapat satu daripadanya.”
===============================================
Muhammad bin Wasi’ berkata, “Seandainya dosa memiliki aroma, tentu tak seorang pun yang kuat duduk bersamaku.”
===============================================
Pernah suatu ketika Daud Ath-Tha’i diceritakan di hadapan sebagian para raja, sehingga mereka pun memujinya, maka ia berkata, “Seandainya manusia mengetahui sebagian apa yang ada pada kami, tentu tak sepatah pun lisan yang menyebutkan kebaikan kami selamanya.”
===============================================
Al-Marwazi berkata, “Aku membantu Abu Abdillah berwudhu saat bersama orang banyak, tetapi aku menutupinya dari orang-orang agar mereka tidak mengatakan, ‘la tidak membaikkan wudhunya karena sedikitnya air yang dituangkan.’ Dan jika Imam Ahmad berwudhu, hampir saja (air bekasnya) tidak sampai membasahi tanah.”
===============================================
“Abul Faraj Al-Jauzi* menyebutkan kisah dari Abil Wafa’ bin Uqail, ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya, ‘Saya menyelam dalam air berkali-kali tetapi saya ragu-ragu, apakah mandi saya telah sah atau belum, bagaimana menurut pendapatmu?”
Maka Syaikh menjawab, “Pergilah, kamu sudah tidak berkewajiban lagi menunaikan shalat.”
Ia bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” Syaikh menjawab, “Karena Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Pena (catat-an amal) diangkat dari tiga jenis manusia: Orang gila hingga sembuh dari kegilaannya, orang yang tidur hingga bangun dan anak kecil sampai ia baligh.’ (Hadits shahih). Dan siapa yang menyelam dalam air berkali-kali lalu ia ragu-ragu, apakah ia telah kena air atau belum, maka dia adalah orang gila!”
=====================================================
“Tidaklah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pecinta
meski ia mendapatkan cinta itu manis rasanya.
Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan, karena takut berpisah atau karena rindu dendam.
Ia menangis jika mereka jauh, sebab didera kerinduan.
Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan.
Air matanya mengalir saat bertemu.
Air matanya mengalir saat berpisah.”
===========================================
Ibnu Syuja’ Al-Kirman berkata, “Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti Sunnah, memakmurkan batiniah-nya dengan muraqabah (penjagaan kepada Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan salah.”
===========================================
Disebutkan apa yang dilakukan oleh sebagian ahli ilmu di negeri Afrika, “Bahwasanya di pinggir negeri itu terdapat mata air yang disebut dengan mata air penyembuhan. Orang-orang awam terkena fitnah olehnya, sehingga mereka berduyun-duyun dari berbagai negeri mendatanginya. Orang yang belum menikah, belum mempunyai anak akan dikatakan padanya, ‘Ikutlah aku ke mata air penyembuhan.’ Dari sini Al-Hafizh Abu Muhammad mengetahui bahwa di dalamnya ada fitnah. Maka beliau keluar di pagi buta dan melenyapkannya, lalu beliau adzan subuh di atasnya, selanjutnya berkata, ‘Sesungguhnya aku melenyapkan ini karena-Mu, karena itu janganlah Engkau jadikan ada orang yang masih memuliakannya’.” Dan memang setelah itu tidak ada lagi orang yang memuliakannya hingga sekarang.
===============================================
=========================================
diriwayatkan al-Khathib dan Abu Na’im serta selainnya dari Mu’adz bin Jabal r.a. yang berkata, “Pelajarilah ilmu, sebab mempelajarinya karena Allah adalah ketakwaan, mencarinya ibadah, mengulanginya tasbih, mengkajinya jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu sedekah, mengorbankannya kepada yang berhak adalah kurban (kedekatan kepada Allah). Dengan ilmu, Allah dikenal dan disembah serta diesakan, dengan ilmu halal dan haram diketahui, dan dengan ilmu hubungan rahim disambung.
==========================================
Imam Malik berkata, “Suatu ketika Abu Hurairah diundang ke sebuah walimah. Ia datang, tapi tak diizinkan masuk. Akhirnya beliau pulang dan mengganti baju. Ia datang lagi, dan kali ini diizinkan masuk. Ketika makanan dihidangkan, ia memasukkan lengan bajunya ke hidangan tersebut. Orang-orang serentak menyalahkan. Tapi beliau menjawab, ‘Baju inilah yang diizinkan masuk, makanya dialah yang seharusnya makan.”’ Ini diceritakan Ibnu Mazin at-Thalithaly dalam kitabnya.
===========================================
Al-Muzany bercerita, ‘Aku mendengar Imam Syafi’i mengatakan bahwa siapa yang belajar Al-Qur’ an, maka nilai dirinya tinggi. Siapa yang mempelajari masalah fikih, maka martabatnya menjadi mulia. Siapa yang mempelajari bahasa, maka perasaannya menjadi halus. Siapa yang mempelajari ilmu hitung, maka pandangannya luas. Siapa yang menulis hadits maka hujahnya akan kuat. Dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka ilmunya tidak berguna baginya.” Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i dengan versi yang berbeda-beda.
========================================
Mu’awiyah bertutur bahwa ia dengar al-A’masy berkata, “Barangsiapa tidak menuntut ilmu hadits, aku gemas untuk menamparnya dengan sandalku.” Hisyam bin Ali bertutur bahwa ia mendengar al-’Amasy berkata, “Jika kamu lihat seorang tua yang tidak membaca Al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka tamparlah dia karena dia termasuk syuyuukhul-qamraa \” Abu Shalih bertanya kepada Abu Jakfar, “Apa maksud syuyuukhul-qamraa itu?” Jawabnya, “Orang-orang tua yang lanjut usia yang berkumpul pada malam-malam terang bulan, mengobrol tentang orang lain sedang tak satu pun dari mereka dapat wudhu dengan baik.”
==========================================
Al-Muzany berkata, “Imam Syafii bila melihat seorang tua maka ia menanyainya tentang hadits dan fikih. Kalau dia tahu sesuatu, maka dipujinya. Tapi bila tidak, maka ia berkata kepadanya,’ Semoga Allah SWT tidak memberimu ganjaran kebaikan atas dirimu dan Islam. Engkau telah menyia-nyiakan dirimu dan menyia-nyiakan Islam.’
=========================================
Alkisah seorang khalifah Bani Abbas sedang bermain catur. Ketika pamannya meminta izin masuk, ia mengizinkannya setelah menutup meja catur. Begitu sang paman duduk, ia bertanya, “Paman, apakah engkau telah membaca Al-Qur”an?”
Jawabnya, “Tidak.”
Ia bertanya lagi, “Apakah engkau telah menulis sebuah hadits?”
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau telah membaca fikih dan perbedaan pendapat para ulama?” tanyanya.
Kembali ia menjawab, “Tidak.”
Sang khalifah bertanya lagi, “Apakah engkau telah mempelajari bahasa Arab dan sejarah?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Setelah mendengar semua jawaban ini, sang khalifah berkata, “Bukalah meja ini dan lanjutkan permainan!”
Di sini sopan santunnya dan rasa malunya kepada sang paman hilang. Teman bermainnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau membuka meja catur itu di hadapan orang yang patut kau hormati?”
Sang khalifah berkata, “Diamlah! Di sini tak ada siapa-siapa.”
=============================================
Ru’bah Ibnul ‘Ajjaj bercerita, “Pernah aku mendatangi an-Nassabah al-Bakry, lalu ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Jawabku, ‘Aku Ibnul ‘Ajjaj.’
la berkata, ‘Aku tahu. Mungkin kamu seperti orang-orang yang bila aku diam mereka tidak menanyaiku, dan bila aku berbicara mereka tidak paham.’ Aku berkata, ‘Semoga aku tidak seperti itu.’
Ia bertanya, ‘Siapa musuh-musuh muru “ah,( ‘kewibawaan’)?’
Aku berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku!’
Ia menjawab, ‘Teman-teman yang jahat. Bila melihat kebaikan temannya, mereka menutup-nutupinya. Tapi bila melihat keburukan, mereka menyebarkannya.’
Ia melanjutkan, ‘Ilmu itu punya aib, kemalangan, dan cacat. Aibnya adalah melupakannya, kemalangannya adalah berdusta dengannya, dan cacatnya adalah menyebarkannya kepada orang yang tidak layak.’”
=======================================
Ibnu Wahb berkisah, “Saat itu aku sedang berada bersama Imam Malik bin Anas, membaca buku di hadapannya dan mempelajari ilmu. Ketika tiba waktu shalat Zuhur atau Asar, aku kumpulkan buku-bukuku dan aku bangkit untuk shalat sunah. Imam Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan ini?’ Aku menjawab, Aku hendak shalat.’ la berkata, Aneh sekali! Shalat yang hendak kamu lakukan itu tidaklah lebih afdhal daripada pelajaran itu, jika niatnya benar.’”
=====================================
Ar-Rabi’ mendengar Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih afdhal daripada shalat sunah.”
Sufyan ats-Tsaury berkata, “Tidak ada amal yang lebih afdhal daripada menuntut ilmu agama selama niatnya lurus.”
Seorang pria bertanya kepada al-Mu’afy bin Imran, “Mana yang lebih kamu sukai, aku shalat sepanjang malam atau aku menulis hadits?” la menjawab, “Kamu menulis hadits lebih aku sukai daripada kamu shalat dari awal sampai akhir malam.”
la berkata juga, “Menulis satu hadits lebih aku sukai daripada shalat satu malam.”
Ibnu Abbas berkata, “Menelaah ilmu beberapa saat lebih aku senangi daripada shalat sepanjang malam.”
============================================
Dalam Masa ‘il-nya, Ishaq bin Manshur bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang maksud perkataan Ibnu Abbas di atas, “Ilmu apa yang dimaksudnya?” Ahmad menjawab, “Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam agama mereka.” Ishaq bertanya lagi, “Tentang wudhu, shalat, puasa, haji, talak, dan sejenisnyakah?” la menjawab, “Benar.”
Ishaq berkata lagi, “Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku, ‘Maksudnya memang seperti yang dikatakan Ahmad itu.’”
Abu Hurairah berkata, “Aku lebih senang duduk sesaat untuk memperdalam ilmu agamaku daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai pagi.”
Ibnu Abdil Barr menyebutkan dari hadits Abu Hurairah, “Segala sesuatu punya pilar. Dan pilar agama ini adalah ilmu. Allah SWT tidak diibadahi dengan sesuatu yang lebih afdhal dari memperdalam ilmu agama.”
Muhammad bin Ali al-Baqir berkata, “Seorang ulama yang ilmunya bermanfaat lebih baik dari seribu abid/orang yang gemar beribadah.” la berkata juga, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah manusia lebih afdhal daripada ibadahnya seribu abid.”
=================================================
dikatakan seorang penyair,
“Sungguh aneh aku rindu kepada mereka
Dan kutanya orang yang kutemui tentang mereka padahal mereka bersamaku
Mataku mencarinya padahal mereka berada di bagian hitamnya
Sedang hatiku merindukan mereka padahal mereka ada di antara tulang
rusukku.”
Yang lain berkata,
“Sungguh aneh seseorang mengadu kejauhan kekasihnya
apakah seorang kekasih itu dapat hilang dari hati kekasihnya?
Bayanganmu di mataku dan sebutanmu di bibirku
tempat tinggalmu di hatiku, maka bagaimana mungkin kamu akan hilang dariku.”
===================================================
Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143
H) berkata, “Apabila anda melihat seorang
pemuda yang tumbuh dewasa bersama
Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar
bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu
darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh
dewasa sesuai dengan masa kanaknya”.
Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan,
“Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan
orang alim maka akan selamat, tetapi apabila
bergaul dengan yang lainnya maka akan
terpengaruh
Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H)
berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda
apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul
dengan pelaku sunnah”
Demikian juga yang dikatakan oleh as-
Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk
kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan
oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah”
==========================================
Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah
setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in.
Barangsiapa yang mencela salah satu di antara
mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai
karena bertentangan dengan nash dan ijma atas
kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul
bid’ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij
yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat.
Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits).”
Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)
=======================================
Ar-Rabi` bin Khaitsam berkata: Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan mencari
ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!
======================================
Abu Sulaiman Ad-darani berkata: Beruntunglah bagi orang yang
mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha
Allah!
========================================
Yazid bin Al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Waspadalah kalian dari nyanyian, karena ia bisa mengurangi rasa malu, menghancurkan kepribadian, dan ia adalah pengganti khamar, sehingga membuat orang berbuat seperti orang mabuk, jika engkau terpaksa harus melakukannya maka jauhilah wanita, karena nyanyian mendorong kepada zina.”
==========================================
Muhammad bin Al-Fadhl Al-Azdi berkata, “Suatu kali Al-Huthai’ah bersama seorang puterinya menginap di suatu rumah orang Arab gunung. Ketika malam telah larut, ia mendengar suara nyanyian, maka ia pun berkata kepada pemilik rumah, ‘Hentikan nyanyian itu!’ Pemilik rumah pun terperanjat, ‘Kenapa engkau membenci nyanyian?’ Al-Huthai’ah menjawab, ‘Nyanyian adalah pendorong kepada perbuatan keji, dan aku tidak suka jika puteriku mendengarnya. Hentikan nyanyian itu, jika tidak aku akan keluar dari rumahmu sekarang juga!”
========================================
Suatu kali, Umar bin Abdul Azis menulis kepada guru akhlak dari puteranya, “Hendaknya yang pertama kali mereka yakini dari akhlak (yang engkau ajarkan) yaitu membenci berbagai bentuk nyanyian, yang awalnya adalah dari syetan dan berakhir dengan murka Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Sungguh telah sampai padaku dari orang-orang ahli ilmu terpercaya bahwa suara alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian juga keterpengaruhan dengannya bisa menumbuhkan nifaq di hati sebagaimana rumput tumbuh setelah disirami air.”*
=======================================
Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika
ia masih suka popularitas.
Yahya bin Muadz berkata: Tidak akan beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan.
Abu Utsman Sa`id bin Al-Haddad berkata:
Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila pujian
dan gila sanjungan.
===================================
Ar-Rabi` bin Shabih menuturkan: Suatu ketika, kami hadir dalam
majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba
salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: Demi
Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada
saat ini!
=======================================
`Aisyah berkata: Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak
diisi dengan istighfar. Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: Perbanyaklah
istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan
dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian
tidak tahu kapan turunnya ampunan!
=====================================
Ketika membaca firman Allah: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (QS. Al-
Ahzab : 33) `Aisyah menangis tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.
Demikian pula Ibnu Umar , ketika membaca ayat yang artinya: Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). (QS. Al-Hadid :
16) Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.
Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat yang
artinya: Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam. (QS. Al-Muthaffifiin : 5-6) Beliau menangis dan
bertambah keras tangis beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.
====================================
Pernah disebut-sebut tentang tawadhu` di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun
beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada
mereka: saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu`! Mereka berkata:
Apa itu tawadhu` wahai Abu Sa`id? Beliau menjawab: Yaitu setiap kali ia keluar
rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih
baik daripada dirinya.
============================
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin
Uyainah, ia berkata: Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih
senior dari kami.
Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: Apa itu tawadhu`? Ia menjawab: Yaitu
engkau tunduk kepada kebenaran!
Mutharrif bin Abdillah berkata: Tidak ada seorangpun yang memujiku kecuali
diriku merasa semakin kecil.
===============================
Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia melewati
seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata:
Apakah engkau gila! Umar menjawab: Tidak Namun para pengawal berusaha
meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya
berkata: Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak.
Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: Sesungguhnya Fulan telah
mencaci engkau! Ia menjawab: Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain
engkau!
===================================
Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: Aku tidak pernah
melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita
banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan, minuman, harta
dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka iapun akan
mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu dinar
apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab: Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu
gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang.
===================================
Ibnul Qayyim berkata :
“Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang meninggalkannya bukan karena Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya karena Allah, ia hanya merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia akan memperoleh kelezatannya”. (Al-Fawaid : 99)
===========================
Salah seorang murid Imam Ahmad bernama Abu Thalib mengatakan: “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (salah seorang ulama kala itu).” Maka Imam Ahmad berkata: “Saya meresa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya padahal Allah berfirman: “Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah berfirman . “Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (Fathul Majid: 466)
=============================================
Abdurrahman bin Harmalah mengisahkan, seseorang datang kepada Said bin Al Musayyib mengucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Said mengatakan kepadanya: “Jangan kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafik, kecuali seorang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.’ Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Said terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad Darimi 1/119, Ta’dhimus Sunnah hal. 31, Miftahul Jannah hal.134)
==============================================
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail At Taimi mengatakan, dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya barmalam.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim)
Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek: “Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.” Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.
At Taimy lalu berkata: “Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat jeleknya menyampaikan kepadanya.”
=============================================
Al Qadhi Abu Tayyib menceritakan kejadian yang ia alami, katanya: “Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia -orang itu bermadzhab Hanafi – mengatakan: ‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang loncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang mengatakan: ‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’ Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.
============================================
Berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali, pencatat Abu Zur’ah : “Kami mendatangi Abu Zur’ah di Ma’ Syahran (sebuah nama tempat) saat dia menghadapi sakratul maut, sementara disisinya terdapat Abu Hatim, Ibnu Warih dan Munzir bin Syazan serta yang lainnya. Lalu mereka menyebut-nyebut hadits tentang talqin :
“Talqinlah (tuntunlan) orang yang sedang menghadapi kematiannya dengan bacaan Laa ilaaha illallah “
Akan tetapi mereka agak sungkan untuk mentalqinkan Abu Zur’ah. Akhirnya mereka sepakat untuk meriwayatkan hadits tersebut. Maka berkatalah Ibnu Warih: “ telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih…. dan tatkala menyebut Ibnu Abi….., dia tidak dapat meneruskannya-, maka berkatalah Abu Hatim: “telah meriwayatkan kepada kami Bundaar dari Abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, kemudian dia tidak dapat meneruskannya juga, sementara yang lainnya terdiam saja, maka berkatalah Abu Zur’ah yang sedang dalam sakaratul maut seraya membuka matanya, : Telah meriwayatkan kepada kami Bundaar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid, dari Shalih Ibnu Abi Uraib dari Katsir bin Murroh dari Mu’az bin Jabal dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang akhir perkataannya La ilaaha illallah, maka dia akan masuk syurga” setelah itu ruhnya keluar dari dirinya. Semoga Allah merahmatinya
=====================================
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy]
======================================
Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/174 no. 315]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [Imam al-Aajury dalam as-Syari’ah I/445 no. 127, di-shahih-kan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar A’laam an-Nubalaa’ VII/120]
========================================
Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata: “Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109]
========================================
Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata: “Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/175-185 no. 317]
========================================
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelek di sisi Allah” [HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178)]
============================================
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa-iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204)]
==========================================
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, mengapa kita membenci kematian?!”
“(Itu) karena kita telah memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita, sehingga kita benci untuk keluar dari kemakmuran menuju kehancuran”, jawabnya.
“Engkau benar”, kata khalifah…kemudian beliau menyambung perkataannya, “Wahai Abu Hazim –seandainya aku tahu- apakah yang akan kita dapatkan di sisi Allah di hari esok (kiamat)?”
Abu Hazim menjawab, “Paparkanlah amalan engkau kepada Kitab Allah AWJ, niscaya engkau akan menemukan jawabannya.”
“Dimanakah aku bisa menemukannya dalam Kitab Allah ta’ala?” tanya khalifah.
Abu Hazim menjawab, “Engkau bisa menemukannya dalam firman-Nya yang maha tinggi, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Surat al-Infithaar: 13-14).
“Kalau demikian, dimanakah rahmat Allah?” tanya khalifah lagi.
Abu Hazim menjawab, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan”( Surat al-A’raf: 56).
Khalifah berkata, “Seandainya aku tahu, bagaimanakah kita besok akan menghadap Allah AWJ?.”
Abu Hazim menjawab, “Adapun orang yang berbuat baik, ia bagaikan orang yang pulang dari bepergian jauh mendatangi keluarganya (dipenuhi kerinduan untuk berjumpa, penj.)…Adapun orang yang berbuat jahat, Ia bagaikan budak yang kabur yang diseret menghadap tuannya dengan paksa (sehingga ia merasa ketakutan).”
Serta merta khalifah menangis, suara tangisannya meninggi dan bertambah keras. Kemudian beliau berkata, “Wahai Abu Hazim, bagaimana (caranya) agar kita menjadi baik?.”
“Tinggalkan takabbur dan berhiaslah dengan maruah (sopan santun)”, jawabnya.
Khalifah berkata lagi, “Adapun dengan harta ini, bagaimana jalan menuju takwa kepada Allah padanya?.”
Abu Hazim menjawab, “(Yaitu) apabila engkau mengambilnya dengan cara yang haq…menyerahkannya kepada yang berhak…engkau bagi secara merata dan engkau berbuat adil di antara rakyatmu.”
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, beritahukan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia?.”
“Mereka adalah orang yang memiliki maruah dan ketakwaan” jawabnya.
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, perkataan apakah yang paling adil?”
“Yaitu kalimatul haq yang diucapkan oleh seseorang dihadapan orang yang ia takuti (keburukannya) dan dihadapan orang yang ia harapkan (kebaikannya)” jawabnya.
Khalifah bertanya, “Doa apakah yang paling cepat dikabulkan wahai Abu Hazim?”
“Yaitu doa orang baik untuk orang-orang baik” jawabnya.
Khalifah berkata, “Shadaqah apakah yang paling utama?.”
Ia menjawab, “(Yaitu) hasil kerja keras orang yang memiliki sedikit harta yang ia letakkan (shadaqahkan) pada tangan orang yang fakir miskin tanpa diiringi dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaannya).”
Khalifah bertanya, “Siapakah orang yang paling cerdik dan berakal, wahai Abu Hazim?.”
“Yaitu seseorang yang mendapatkan (amal) berupa ketaatan kepada Allah ta’ala sehingga ia mengamalkanya, kemudian ia membimbing manusia kepadanya”, jawabnya.
“Dan siapakah orang yang paling tolol?” tanya khalifah lagi.
“Yaitu seseorang yang tunduk bersama hawa nafsu temannya sedangkan temannya adalah orang zalim, sehingga ia menjual akhiratnya dengan dunia orang lain” jawabnya.
Khalifah berkata, “Maukah kamu menemani kami –wahai Abu Hazim- sehingga kamu bisa mengambil (upah) dari kami dan kami bisa mengambil (nasehat) darimu.”
Ia menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”
“Mengapa?” tanya khalifah.
Ia manjawab, “Saya khawatirkan akan sedikit menyandarkan diri kepadamu, sehingga Allah akan menimpakan kepayahan dunia dan adzab akhirat kepadaku.”
Khalifah berkata, “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim.”
Ia terdiam dan tidak menjawab.
Khalifah lantas mengulang perkataannya “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim, niscaya kami akan menunaikannya untukmu, seberapa pun besarnya.”
Ia menjawab, “Hajatku adalah agar engkau menyelamatkan saya dari neraka dan memasukkan saya ke dalam surga.”
“Itu bukan wewenangku wahai Abu Hazim” kata khalifah.
Abu Hazim berkata, “Saya tidak memiliki hajat selain itu wahai Amirul Mukminin.”
Maka khalifah berkata, “Doakanlah aku wahai Abu Hazim.”
Ia pun berdoa, “Ya Allah, apabila hambamu Sulaiman termasuk wali-waliMu, maka permudahkanlah ia untuk (mengerjakan) kebaikan dunia dan akhirat…Namun, apabila ia termasuk musuh-musuhMu, maka perbaikilah ia dan tunjukilah ia kepada apa yang Engkau cintai dan ridlai.”
Maka, seseorang dikalangan para hadirin ada yang berkata, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan sejak kamu masuk menemui Amirul Mukminin…Kamu telah menjadikan khalifah muslimin termasuk musuh-musuh Allah dan kamu telah menyakitinya.”
Abu Hazim berkata, “Bahkan, alangkah buruknya apa yang kamu katakan, sungguh Allah telah mengambil janji dari para ulama agar mereka selalu mengatakan kalimatul haq, Allah berfirman, “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya.” (Surat Ali Imran: 187)
=====================================================
“Tidaklah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pecinta
meski ia mendapatkan cinta itu manis rasanya.
Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan, karena takut berpisah atau karena rindu dendam.
Ia menangis jika mereka jauh, sebab didera kerinduan.
Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan.
Air matanya mengalir saat bertemu.
Air matanya mengalir saat berpisah.”
===========================================
Ibnu Syuja’ Al-Kirman berkata, “Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti Sunnah, memakmurkan batiniah-nya dengan muraqabah (penjagaan kepada Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan salah.”
===========================================
Disebutkan apa yang dilakukan oleh sebagian ahli ilmu di negeri Afrika, “Bahwasanya di pinggir negeri itu terdapat mata air yang disebut dengan mata air penyembuhan. Orang-orang awam terkena fitnah olehnya, sehingga mereka berduyun-duyun dari berbagai negeri mendatanginya. Orang yang belum menikah, belum mempunyai anak akan dikatakan padanya, ‘Ikutlah aku ke mata air penyembuhan.’ Dari sini Al-Hafizh Abu Muhammad mengetahui bahwa di dalamnya ada fitnah. Maka beliau keluar di pagi buta dan melenyapkannya, lalu beliau adzan subuh di atasnya, selanjutnya berkata, ‘Sesungguhnya aku melenyapkan ini karena-Mu, karena itu janganlah Engkau jadikan ada orang yang masih memuliakannya’.” Dan memang setelah itu tidak ada lagi orang yang memuliakannya hingga sekarang.
===============================================
==================================================
Alkisah suatu saat Ismail Al-Qadhi masuk kepada khalifah Abbasiyyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama. Setelah membacanya dia berkomentar : “Penulis buku ini adalah zindiq, sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah, dan orang yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian, tidak ada seorang alim pun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar. [Siyar A’lam Nubala 13/465,Adz-Dzahabi]
==============================================
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang lelaki ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang lelaki berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Anak dari lelaki itu menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini sebagai sedekah dariku!”.
=====================================
Dzaadzan berkata :
“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud) berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engkau… engkau”.
Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.
Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]
=====================================================
Adalah Al-Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya dimana setiap hari ia mengadakan majelis ditempat itu. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam majelisnya dimana ahli dunia dan perdagangan mendatanginya. Dan ia lalai dengan menjelis Al-Hasan Al-Basri, dan tidak menoleh sedikitpun dengan apa yang disampaikan oleh Al-Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin mengetahui apa yang disampaikan Al-Hasan Al-Basri, maka dikatakan kepadanya : “Dalam majelis Al-Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga, neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah untuk akhirat). Maka perkataan ini menancap dalah hatinya, lalu ia pun berkata : “Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!”, maka berkatalah orang-orang yang duduk dalam majelis kepada Al-Hasan Al-Basri : “Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu nasehatilah ia. Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri dan Hasan Al-Basri menghadap kepadanya, lalu ia nasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan dengan syurga, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia. Maka Habib Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, lalu bersedekah 40 ribu dinar. Dan iapun berlaku qona’ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia” [Hilyatul Aulia 6/149 dengan sedikit perubahan, dan lihat Siyar ‘Alamun Nubala 6/144]
==============================================
Abu Nu’aim mengutip dalam kitab “Al-Hilyah” dengan sanadnya kepada Ibrahim bin Sulaiman Az-Zayyat, dimana ia berkata :
“Adalah kami berada disisi Sufyan Ats-Tsauri, lalu datanglah seorang wanita dan mengeluhkan anak laki-lakinya, wanita itu berkata : “Wahai Abu Abdullah saya mendatangimu agar engkau menasehatinya? Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : Ya, datangkan anakmu itu”. Kemudian perempuan itu datang bersama anaknya, maka Sufyan Ats-Tsauri pun menasehati anak itu, setelah selesai berpalinglah anak itu pergi. Maka kembalillah wanita tadi sesudah beberapa waktu dan berkata : “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abu Abdullah (Sufyan Ats-Tsauri)”, dan ia pun menceritakan perilaku anaknya yang ia sukai setelah mendapat nasehat Sufyan Ats-Tsauri.
Setelah beberapa lama, datanglah kembali wanita itu dan berkata : “Wahai Abu Abdullah, annakku tidak pernah tidur dimalam hari, dan pada siang hari ia berpuasa, tidak makan dan tidak pula minum. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsauri : “Celaka anda, mengapa ia berbuat demikian ?” Wanita itu menjawab : “Untuk mencari hadits”. Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Harapkanlah dirimu darinya pahala dari sisi Allah” [Hilyatul Aulia 4/65,66]
Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang ulama terkemuka, dan seorang yang banyak menyuruh kebaikan, tidaklah ia takut celaan orang yang suka mencela dijalan Allah, hingga berkata salah seorang diantara mereka ; “Adalah saya keluar bersama Sufyan Ats-Tsauri, maka hampir-hampir lisannya tidak putus dari menyuruh kebaikan dan melarang dari kemungkaran baik ketika pergi atau pulang” [Hilayatul Aulia]
=======================================================
Ada sebuah kisah menarik tentang kematian Imam ash-Shan’ani (w 1182H), yaitu beliau tertimpa sakit perut (mencret) yang menguras isi perut beliau .Keluarga beliau mencarikan obat tetapi tidak berguna sedikitpun.
Kemudian dibawakan 2 buah buku kepada beliau, yaitu Al-Insan Al Kamil karya Al Jili, dan al-Madhnun Bihi ‘Ala Ahlihi karya Al-Ghazali, yang beliau pernah berkomentar : “Aku tidak menganggapnya sebagai karya beliau. Buku ini hanyalah dinisbatkan secara dusta.” Kemudian imam Ash-Shan’ani berkata : “Kemudian aku menelaah buku tersebut, maka aku temukan buku tersebut berisi kekufuran yang nyata, maka aku perintahkan supaya kedua buku itu dibakar dengan api dan apinya digunakan untuk membuat roti untukku.” Kemudian beliau makan roti dengan niat sebagai obat,setelah itu beliau tidaklah merasa sakit.
==================================================
Pada biografi Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Ala Al Hamdani (w.248) ,Muthayan berkata :”Abu Kuraib berwasiat agar buku-buku karyanya dipendam, maka dilaksanakan wasiat beliau.”
Kemudian Adz-Dzahabi didalam Siyar 11/397 memberikan komentar : “Beberapa ahli hadits telah mewasiatkan agar buku-bukunya dipendam, dibakar, atau dicuci (dilunturkan tintanya), karena takut buku tersebut dipegang oleh muhaddits yang kurang agamanya, kemudian ia akan merubah-rubah dan menambahinya, kemudian hal itu dinisbatkan kepada Al-Hafidz (ahli hadits pemilik kitab). Atau didalam kitab itu terdapat riwayat yang putus atau lemah yang tidak pernah ia ceritakan, sedangkan yang telah ia riwayatkan adalah hal-hal yang telah dipilih. Maka ia pada akhirnya membenci hasil tulisannya, dan tidak ada jalan lain kecuali harus dimusnahkan.Karena hal ini dan lainnya ia memendam buku-bukunya.”
Syaikh Masyhur berkata : “Buku-buku yang penuh dengan racun kalajengking dan ular (yang berisi kejelakan dan kemungkaran) lebih layak untuk dipendam, dimusnahkan dan dibakar.
==============================================
Seseorang dari Afrika berkata : “Ada seorang syaikh, di antara syaikh Thariqah Sufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendo’akan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia memohon kepada Allah, agar Allah menimpakan kerburukan kepadanya …dan seterusnya”. Do’a yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid.
Seorang Afrika tadi berkata : “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia (syaikh Sufi) berkata kepadaku : ‘Kitab apa ini ?’. Aku jawab : ‘Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama’. Dia berkata : ‘Bolehkah aku membacanya?’. Maka seolah-olah aku berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Aku lalu memberikannya, dan berkata : “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang alim yang agung, sehingga aku mendapatkan manfaat”.
Maka besoknya dia kembali, lalu syaikh itu mengatakan : “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Didalamnya hanya ada firman Allah dan sabda Rasul. Siapakah yang menyusunnya ?” Dia menjawab : “Inilah penyusunnya, orang yang selalu engkau do’akan kecelakaan pada waktu malam dan siang”. Maka syaikh itu bertaubat kepada Allah saat itu juga. Dahulu dia selalu mendo’akan kecelakaan untuknya, kemudian dia lalu mendo’akan kebaikan untuknya. Inilah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
======================================================
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.”
Ini adalah penjelasan bahwa allah berada di atas langit, dan bantahan bagi yang menganggap allah ada dimana-mana, atau yang menganggap Allah tidak bertempat.
=======================================================
Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu menyahut, “Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi.”
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)
=========================================================
Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, “Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semuanya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)
1 dinar sama dengan kira-kira 4,25 gram emas murni, sekitar 500ribu rupiah
1 dirham sama dengan kira-kira 3,3 gram perak, sekitar 10ribu rupiah
=========================================================
Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,”Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, “Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, “Ini keseluruhan yang aku miliki.” (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)
=========================================================
Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Min-talah apa saja yang kau kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, “Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan.” (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
=========================================================
Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana hasrat tuan terhadap ilmu?”Beliau manjawab, “Saya seperti mendengar kata-kata yang tidak pernah saya dengar. Saya bahkan ingin agar saya punya banyak pendengaran, supaya bisa menikmati seperti yang dinikmati oleh kedua telinga saya”. “Bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab,“Seperti rakusnya pencari harta yang mencapai puncak kenikmatan karena hartanya.’ ‘Bagaimana tuan mencari ilmu?’ beliau menjawab ‘Seperti seorang ibu yang bingung mencari anaknya, yang semata wayang’. Ibnu Asakir dalam menceritakan Abu Manshur Muhammad bin Husain An-Naisaburi berkata, ‘Beliau terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, meski dalam kondisi fakir. Bahkan beliau mengulangi dan menulis pelajarannya di bawah sinar rembulan, karena tidak mampu membeli minyak lampu.’
Ibnu Katsir berkata, ‘Ilmu tidak bisa diperoleh dengan leha-leha.’ Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, ‘Untuk menuntut ilmu hadits, saya mengalami kencing darah dua kali, pertama di Baghdad dan kedua di Makkah. Hal itu karena saya berjalan dengan kaki telanjang di tengah sengatan terik matahari. Saya tidak pernah naik kendaraan saat mencari hadits kecuali sekali, dan saya selalu membawa kitab-kitab di punggung saya.’ Sementara Imam Baqi bin Mukhallad Al-Andalusi pada tahun 221H berjalan kaki dari Andalus (Spanyol) ke Baghdad untuk menemui dan belajar kepada Imam Ahmad.
====================================================
Ahmad bin Ibrahim Al-Abbas berkata, ‘Ketika sampai berita wafatnya Imam Muhammad Ar-Razi, saya masuk kamar dan menangis. Keluargaku mengerumuniku dan bertanya, ‘Apa yang menimpamu?’ ‘Imam Muhammad Ar-Razi telah wafat, kalian melarangku ke sana untuk menuntut ilmu,’ jawab-ku. Akhirnya mereka mengizinkanku mencari ilmu kepada Syaikh Hasan bin Sinan.’
Abu Ali Al-Farisi berkata: ‘Terjadi kebakaran besar di Baghdad, semua kitabku terbakar, padahal saya menulisnya dengan kedua tanganku. Selama dua bulan saya tidak kuasa berbicara dengan seorang pun, karena kesedihan dan duka yang dalam, bahkan beberapa saat saya dalam keadaan linglung.’ Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata, ‘Saya ingat, saya pernah ketinggalan tidak mendengar satu hadits dari Syaikh saya, sehingga saya sakit (karena sangat menyesal dan sedih akibat ketinggalan tersebut).
=================================================
Dikisahkan, Imam Asad bin Al-Furat melakukan perjalanan ke Iraq untuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani Rahimahullaah. Imam Asad berkata, “Saya orang asing dan bekalku hanya sedikit, bagaimana agar saya bisa belajar lebih dari sekedar mengikuti kajian tuan?” Syaikh Asy-Syaibani menjawab, “Tetaplah ikut kajian pada siang hari, dan saya khususkan waktu malam untuk mengajarimu sendirian. Menginaplah di rumahku dan kamu akan saya ajari ilmu’. Imam Asad berkata, “Maka saya pun menginap di rumah beliau, beliau mendatangiku dengan membawa seember air. Beliau lalu membacakan ilmu untukku, jika malam telah larut dan aku mengantuk, beliau mengambil air dan memercikkannya ke mukaku, sehingga saya bersemangat lagi. Demikian terus berlalu, sehingga saya selesai belajar ilmu apa saja yang saya inginkan.”
Abul Qasim Al-Muqri’ berkata, Imam Al-Hazimi senantiasa menelaah kitab dan mengarang hingga terbit fajar. Seseorang kemudian berkata kepada pembantunya, ‘Jangan kamu berikan minyak untuk pelitanya, barangkali beliau istirahat malam itu.’ Ketika malam tiba, Imam Al-Hazimi meminta minyak kepada pembantunya. Lalu dijawab, minyaknya telah habis. Imam Al-Hazimi lalu masuk ke rumahnya dan shalat di dalam kegelapan malam sampai terbit fajar.’
=======================================================
====================================================
Shilah ibn Asyam pernah keluar ke daratan di tanah Bashrah untuk khalwah (menyepi) dan beribadah…
Lalu sekelompok pemuda yang akan bersenang-senang melewatinya…
Mereka bermain-main…bersendau gurau dan bergembira…
Ia (Shilah) menyalami mereka dengan halus…
Dan dengan lembut ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang suatu kaum yang ber’azm (bertekad) untuk safar (bepergian) karena suatu urusan besar, hanya saja mereka di waktu siang berbelok dari jalan untuk berbuat sia-sia dan bermain-main….dan di waktu malam mereka tidur untuk istirahat. Maka kapankah kalian melihat mereka menyelesaikan perjalanannya dan sampai di tempat tujuan?!”
Dan ia terbiasa mengucapkan kalimat tersebut di saat itu dan pada saat yang lain…
Pada suatu ketika ia bertemu dengan mereka dan ia mengucapkan kata-katanya tersebut kepada mereka…
Maka, salah seorang pemuda dari mereka bangkit dan berkata, “Sesungguhnya dia –demi Allah- tidak memaksudkan perkataannya kepada siapapun selain kita. Kita di siang hari bermain-main….dan di malam hari tidur…”
Kemudian pemuda tersebut memisahkan diri dari teman-temannya dan mengikuti Shilah ibn Asyam sejak hari itu. Ia terus menemaninya hingga kematian menjemputnya.
=========================================
Pada suatu siang Shilah ibn Asyam pernah pergi bersama sekelompok sahabatnya kepada suatu tujuan. Lalu lewatlah di depan mereka seorang pemuda yang menakjubkan dan bagus penampilannya….
Pemuda tersebut memanjangkan kain celananya sampai dibawah mata kaki hingga ia menyeretnya di tanah seperti orang sombong…
Para sahabat Shilah lalu bermaksud (melakukan tindakan) terhadap pemuda tersebut, mereka ingin mencemoohnya dengan perkataan dan memukulnya dengan keras…
Maka Shilah berkata kepada mereka, “Biarkan aku, yang akan menyelesaikan urusannya.”
Ia mendekati pemuda tersebut dan berkata dengan kelembutan seorang ayah yang penuh sayang…dan bahasa seorang sahabat yang jujur, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku punya hajat kepadamu.”
Pemuda itu berhenti, dan berkata, “Apa itu wahai paman?”
Ia berkata, “Hendaklah kamu mengangkat kainmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih suci untuk pakaianmu…lebih bertakwa kepada Rabbmu…dan lebih dekat dengan sunnah Nabimu.”
Dengan rasa malu pemuda itu berkata, “Ya, dengan senang hati…”
Kemudian ia segera mengangkat kainnya.
Shilah berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya yang seperti ini lebih baik daripada apa yang kalian inginkan…kalau seandainya kalian memukulnya dan mencemoohnya niscaya ia akan memukul dan mencemooh kalian…dan tetap membiarkan kainnya menjulur menyapu tanah.”
=============================================
Pada suatu kali seorang pemuda dari Bashrah mendatangai Shilah ibn Asyam dan berkata, “Wahai Abu ash-Shahbaa, ajari aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Maka Shilah tersenyum dan berseri wajahnya, dan ia berkata, “Sungguh kamu telah mengingatkan aku -wahai anak saudaraku- tentang kenangan lama yang tidak aku lupakan…dimana pada saat itu aku seorang pemuda sepertimu…Aku mendatangi orang yang tersisa dari sahabat Rasulullah SAW, dan aku berkata kepada mereka, “Ajarilah aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian.” Mereka berkata, “Jadikanlah al-Qur’an sebagai penjaga jiwamu dan kebun hatimu. Dengarkan nasehatnya dan nasehatilah kaum muslimin dengannya. Perbanyaklah berdoa kepada Allah semampumu.”
Anak muda itu berkata, “Berdoalah untukku, semoga engkau dibalasi dengan kebaikan.”
Ia menjawab, “Semoga Allah menjadikanmu senang (antusias) untuk memperoleh yang kekal (akhirat)…dan menjadikanmu zuhud terhadap yang fana (dunia)…dan menganugrahkan keyakinan kepadamu yang mana jiwa menjadi tenang kepadanya, dan dibutuhkan kepadanya dalam agama.”
=========================================
Suatu kali AL-QASIM IBN MUHAMMAD IBN ABI BAKAR pernah terlihat di Mina. Dan para penduduk negeri dari orang-orang yang berhaji ke baitullah mengerumuninya dari segala sisi dan menanyainya.
Ia menjawabi mereka dengan apa yang ia tahu, dan pada apa yang ia tidak tahu, ia mengatakan, “Aku tidak tahu…aku tidak mengerti…aku tidak faham.” Mereka pun dibuat heran dengannya.
Ia lalu berkata, “Aku tidak tahu seluruh apa yang kalian tanyakan…kalau aku mengetahuinya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya…dan tidak halal bagiku untuk menyembunyikannya. Dan (ketahuilah) seseorang hidup dalam keadaan bodoh –setelah mengetahui hak Allah atasnya- adalah lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa yang ia tidak mengetahuinya.”
====================================
Al-Qasim ibn Muhammad telah diberi umur hingga lebih dari tujuh puluh dua tahun. Akan tetapi matanya menjadi buta di saat ia berusia lanjut.
Pada akhir tahun dari kehidupannya, ia menuju ke Mekkah menginginkan haji…dan di tengah perjalanan kematian menjemputnya.
Ketika ajalnya sudah dekat, ia menoleh kepada anaknya dan berkata, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaianku yang aku shalat dengannya, yaitu gamisku…sarungku…dan kainku…itu adalah kafan kakekmu Abu Bakar. Kemudian ratakan kuburanku dan pulanglah kepada keluargamu. Dan hati-hatilah (janganlah kamu) berdiri di atas kuburanku dan berkata, “Dahulu ia begini…dan dulu ia begitu….”, karena aku bukanlah siapa-siapa”.
======================================================
Maslamah bin Abdul Malik bersama pasukannya mengepung salah satu benteng Romawi. Sementara tidak ada jalan masuk ke dalam benteng kecuali satu pintu. Setelah pengepungan berlalu sekian lama, Maslamah berseru di tengah pasukannya, “Siapa yang berani menerobos pintu, maka jika dia mati saat menerobosnya, maka dia akan mendapatkan surga, insya Allah. Jika dia selamat, maka tanah yang ada di balik pintu itu patut diserahkan kepadanya, lalu dia harus membuka pintu itu agar pasukan Islam dapat masuk ke dalam benteng sebagai pemenang.”
Ada seorang prajurit berdiri, yang mukanya ditutup kain, seraya berkata,”Aku akan melakukannya wahai Amir.”
Akhirnya umat islam memenangkan peperangan itu.
Selama tiga hari Maslamah bin Abdul Malik bertanya-tanya, “Siapakah orang yang mengenakan tutup muka? Siapakah yang telah membuka pintu benteng?” Tak seorang pun yang bangkit.
Pada hari ketiga dia berkata, “Aku bersumpah agar orang yang mengenakan tutup muka menemui aku, kapan pun waktunya, siang atau malam.”
Maka pada tengah malam ada yang mengetuk pintu tendanya. Maslamah bertanya,”Engkaukah orang yang mengenakan tutup muka?”Orang itu menjawab, “Dia meminta tiga syarat sebelum engkau melihatnya.”"Apa itu?” tanya Maslamah.
“Engkau tidak boleh mengumumkan namanya kepada orang-orang, engkau tidak boleh memberinya imbalan apa pun dan engkau tidak boleh melihatnya sebagai orang yang memiliki keistimewaan,” kata orang itu. Dengan kata lain, dia tidak menginginkan apa-apa.”Aku terima,” kata Maslamah. Orang itu berkata, “Memang akulah orang yang mengenakan tutup muka itu.”
Maka Maslamah langsung menghampiri dan memeluknya. Maka di antara doa Maslamah, “Ya Allah, himpunkan aku bersama orang yang mengenakan tutup muka. Ya Allah, himpunkan aku bersama orang yang mengenakan tutup muka.
=======================================================
Amr bin Qais Al Mala’y berpuasa selama dua puluh tahun, sementara keluarganya tidak mengetahuinya. Dia mengambil makan siangnya lalu pergi ke tokonya, lalu dia menshadaqahkan makan siangnya itu dan dia sendiri berpuasa, sementara keluarganya tidak mengetahui hal itu.
===================================================
Dari Abu Hamzah Ats Tsumaly, bahwa Ali bin Al Husain membawa roti di atas punggungnya pada malam hari lalu mencari orang-orang miskin di kegelapan malam. Dia berkata, “Sesungguhnya shadaqah yang diberikan pada kegelapan malam dapat memadamkan kemurkaan Allah.”
Dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata, “Penduduk Madinah hidup dengan makanan itu, sementara mereka tidak tahu siapa yang telah memberi makanan itu kepada mereka. Setelah Ali bin Husain meninggal dunia, maka mereka tidak lagi mendapatkan makanan pada malam hari.”
Dari Amr bin Tsabit, dia berkata, “Setelah Ali bin Al Husain meninggal dunia, orang-orang melihat bekas punggungnya, yaitu bekas kantong makanan yang biasa dia panggul untuk diberikan kepada para wanita janda.”
Syaibah bin Nu’amah berkata, “Setelah Ali bin Al Husain meninggal dunia, orang-orang mendapatkan seratus keluarga yang dia santuni. Karena itulah dia dianggap orang bakhil. Pasalnya, dia menyalurkan infaq secara rahasia, sementara keluarganya mengira dia menumpuk dirham. Sebagian diantara mereka berkata, “Kami tidak pernah kehilangan shadaqah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi hingga Ali meninggal dunia.”
=================================================
Al Hasan al Bashri bila datang ke pasar dan mendengar hiruk pikuk orang orang di sana, ia berkata, “Aku mengira malam mereka adalah malam yang buruk (karena tidur nyenyak dan tidak bertahajjud), mengapa mereka tidak tidur tengah hari?”
=============================================
Al Mughirah berkata, “Aku pernah keluar pada suatu malam setelah orang orang benar benar telah tertidur, lalu aku melintasi Malik bin Anas, aku melihatnya tengah berdiri melakukan shalat. Tatkala dia selesai dari bacaan al Faatihah, dia mulai membaca surat at Takaatsur:
‘Bermegah megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar benar akan melihat Neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah megahkan di dunia itu).’
Lalu dia menangis cukup lama dan kemudian dia pun mengulangi ayat ini dan kembali menangis. Apa yang aku dengar dan aku lihat dari sosok Malik ini telah membuatku melupakan keperluanku yang membuatku keluar untuknya. Tiada henti hentinya aku berdiri, sedangkan dia tetap mengulang ulang ayat tersebut dan menangis hingga terbit fajar. Tatkala dia melihat fajar telah jelas, barulah dia ruku’. Kemudian aku pulang ke rumahku, lalu aku berwudhu’ dan kemudian pergi ke masjid, tiba tiba Malik sudah berada di tempatnya (di masjid) dan jama’ah ada di sekelilingnya. Tatkala memasuki waktu Shubuh, aku melihat pada wajahnya tampak cahaya dan keindahan darinya.”
============================================
Dihikayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan bahwa keduanya melihat seorang laki-laki sedang berjalan ke arah mereka, lalu masing-masing mereka menebak pekerjaan orang tersebut. Kata imam asy-Syafi’i, “Dia itu seorang tukang kayu.” Muhammad bin al-Hasan berkata, “Dia itu seorang pandai besi.” Begitu orang itu mendekat, keduanya bertanya kepadanya mengenai pekerjaannya, maka ia menjawab, “Dulu profesiku pandai besi tapi sekarang sudah berprofesi sebagai tukang kayu.”
2. Seorang laki-laki yang dulunya pandai baca al-Qur’an bertanya kepada sebagian ulama, lalu mereka berkata kepadanya, “Duduklah, sebab aku mencium dari ucapanmu bau ‘kekufuran’.” Tak berapa lama setelah itu, orang tersebut muncul lagi, tapi sudah masuk agama Nasrani, wal ‘iyaadzu billah. Lalu ia ditanya, “Adakah ayat al-Qur’an yang masih kamu hafal?.” Ia menjawab, “Aku tidak hafal kecuali satu ayat saja, ‘Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim.’” (al-Hijr:2)
3. Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Di Masjid Haram Mekkah, aku melihat seorang laki-laki miskin yang tidak memiliki apa-apa dan hanya mengenakan pakaian yang menutup auratnya saja. Karena kondisinya itu, aku menghindarinya dan diriku jijik terhadapnya. Lalu ia memfirastiku seraya melantunkan firman Allah, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya.” (al-Baqarah:235) Maka aku pun menyesali atas sikapku tersebut dan memohon ampun kepada Allah. Lalu ia melantunkan ayat lagi, “Dan Dia-lah Yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan…” (asy-Syura:25)
(SUMBER: Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, juz II, hal.71-72)
================================================
Qadhi Abu ath-Thayyib berkata, “Suatu hari kami mengikuti pengajian di Jami’ al-Manshur. Lalu datanglah seorang pemuda dari Khurasan yang mengetengahkan salah satu hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah. Setelah membacanya, ia mengomentari, “Hadits ini tidak dapat diterima…” Maka, belum lagi ia selesai bicara, tiba-tiba dari atas atap jatuh seeokor ular sehingga orang-orang bangun dan berhamburan ke luar, tak terkecuali pemuda tersebut namun anehnya, ular itu hanya membuntutinya. Ketika itu, ada orang yang menasehatinya, “Ayo, bertobatlah, bertobatlah.!!!” Maka anak muda itu pun mengatakan, “Aku bertobat kepada Allah.” Seketika, ular itu pun menghilang entah ke mana.”
===============================================
Kisah ini diceritakan oleh Syaikh ‘Abdullah al-Mathruud, Imam masjid Haram, Mekkah, di dalam sebuah kaset berjudul, “Penghuni Rumah Angkat Bicara” tepatnya, sehabis berziarah ke Daar an-Naqaahah yang menangani perawatan kondisi-kondisi parah, di sebuah propinsi di Kerajaan Arab Saudi.
Seorang pemuda berusia 27 tahun yang kondisinya tidak dapat lagi duduk untuk selama-lamanya berkisah, “Suatu ketika ibuku berkata kepadaku, ‘Tolong antarkan ibu ke rumah salah seorang kerabat kita.”
Mendengar itu, aku jadi kesal lalu berbicara kasar terhadapnya. Namun beliau mengulangi lagi, “Aku mohon padamu, wahai anakku, tolong antarkan aku ke rumah mereka sebab ada hak mereka yang harus aku berikan. Itulah tujuanku mengunjungi mereka.”
Lalu aku berkata padanya, “Baiklah, tapi ada syaratnya; aku akan mengantarkan ibu ke sana lalu pulang dan akan datang lagi tepat setelah setengah jam kemudian. Nanti aku akan membunyikan klakson mobil satu kali, kalau ibu tidak keluar, maka aku akan pergi dan meninggalkan ibu di sini.”
Akhirnya sang ibu naik dan jadi pergi ke rumah kerabatnya bersama sang anak. Dan setelah berlangsung setengah jam tepat, sang anak pun datang dan membunyikan klakson mobilnya satu kali namun sang ibu tidak keluar-keluar. Maka, ia pun pergi dan meninggalkan sang ibu.
Dalam perjalanannya tersebut, mobil dilarikan dengan kecepatan tinggi hingga terjadilah kecelakaan atas dirinya. Akibat kejadian itu, ia kini tidak bisa lagi duduk untuk selama-lamanya. Ia hanya bisa berbaring terlentang atau telungkup dan tidak dapat menggerak-gerakkan anggota badannya selain kepala saja.
Komentar Penulis Buku:
Inilah balasan yang didapat oleh sang anak yang durhaka akibat perbuatannya sendiri. Kita berdoa semoga ia cepat sembuh dan dapat belas kasih Allah.
(SUMBER: Abnaa` Yu’adzdzibuun Aabaa`ahum karya Ahmad Muhammad Sinan, Bag.II, h.25-26)
===================================================
================================================
Kisah Abu Hazim Salamah ibn Dinar
Abdurrahman bertanya, “Bagaimanakah trik mendapatkan hati yang selalu terjaga wahai Abu Hazim?.
Ia menjawab, “Ketika hati diperbaiki maka dosa-dosa besar terampuni… dan jika seoang hamba bertekad meninggalkan dosa, maka ia akan diliputi hati yang selalu terjaga. Jangan lupa wahai Abdurrahman bahwa kemewahan dunia akan menyibukkan hati dari kenikmatan akhirat… setiap nikmat yang tidak menjadikanmu dekat dengan Allah maka itu adalah bencana.”
Anak Abdurrahman berkata, “Sesungguhnya syaikh kami banyak dan kepada siapakah kami berteladan.”
Abdurrahman menjawab, “Wahai anakku, teladanilah syaikh yang paling takut kepada Allah secara sembunyi-sembunyi dan menahan diri dari mengumbar aib… memperbaiki dirinya sejak masa muda dan hal itu tetap berlangsung hingga masa tua. Ketahuilah wahai anakku, tidaklah mentari bersinar di pagi hari melainkan pada hari itu nafsu dan ilmu akan menghampiri penuntut ilmu, lalu keduanya saling bertarung dalam dadanya dengan dahsyatnya… jika ilmunya mengalahkan nafsunya maka hari itu adalah hari keberuntungannya… tetapi jika nafsunya yang mengalahkan ilmunya maka hari itu adalah hari kerugiannya. “
Abdurrahman berkata, “Seringkali anda menasihati kami untuk bersyukur wahai Abu Hazim, apa sebenarnya hakikat syukur itu?.”
Ia mengatakan, “Tiap-tiap anggota dari tubuh kita, punya hak untuk kita syukuri.”
Abdurrahman berkata, “Bagaimana (cara) bersyukurnya kedua mata?.”
Ia menjawab, “(Yaitu) bila kamu melihat kebaikan dengan keduanya maka kamu mengumumkannya, dan bila kamu melihat keburukan maka kamu menutupinya.”
Abdurrahman berkata lagi, “Bagaiman (cara) bersyukurnya kedua telinga?.”
Ia menjawab, “Bila kamu mendengar kebaikan dengannya maka kamu memahaminya, dan bila kamu mendengar keburukan maka kamu menimbunnya.”
“Bagaimana (cara) bersyukurnya kedua tangan?” kata Abdurrahman lagi.
Ia menjawab, “Hendaklah kamu tidak mengambil apa yang bukan milikmu dengannya…hendaklah kamu tidak melarang hak dari hak-hak Allah dengannya…dan janganlah terlewatkan olehmu wahai Abdurrahman, bahwa orang yang hanya bersyukur dengan lisannya dan tidak mengikut sertakan seluruh anggota badan dan hatinya bersamanya…maka perumpamaannya adalah sama dengan orang yang memiliki kain (baju), tetapi ia hanya memegang ujungnya dan tidak mengenakannya…Maka yang demikian itu tidaklah melindunginya dari panas dan tidak pula membentenginya dari dingin.”
==========================================================================
Pada suatu tahun, Salamah ibn Dinar berangkat bersama pasukan muslimin menuju negeri Romawi mengharapkan jihad fisabilillah bersama para mujahid.
Tatkala pasukan telah sampai di akhir perjalanan, maka ia memilih untuk beristirahat sebelum menghadapi musuh dan masuk ke medan pertempuran.
Di tengah-tengah pasukan ada seorang amir (pemimpin) dari umara Bani Umayyah, kemudian ia mengirim seorang utusan kepada Abu Hazim dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya pemimpin kita mengundangmu untuk menemuinya agar kamu menceramahinya dan memahamkannya (tentang agama).”
Kemudian ia pun menulis surat yang ditujukan kepada amir tersebut yang berbunyi, “Wahai amir, sungguh aku telah menjumpai ahlul ilmi sedangkan mereka tidak membawa agama ini kepada ahli dunia. Dan aku tidak berprasangka anda ingin agar aku menjadi orang yang pertama kali melakukan hal tersebut. Apabila engkau punya hajat kepada kami, maka datangilah kami, dan semoga keselamatan tercurahkan kepadamu dan orang-orang yang bersamamu.”
Ketika amir (selesai) membaca suratnya, ia lantas pergi menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya serta mendoakannya. Ia berkata, “Wahai Abu Hazim, sungguh kami telah membaca apa yang kamu tulis untuk kami, sehingga bertambahlah kemuliaanmu dan ‘izzahmu di sisi kami. Berilah peringatan kepada kami dan nasehatilah kami, semoga kamu diberi balasan atas kami dengan sebaik-baik balasan.”
Maka mulailah Abu Hazim menasehati dan mengingatkannya. Dan di antara apa ia katakan kepadanya (yaitu) “Lihatlah kepada apa yang engkau sukai untuk bisa menemanimu di akhirat, maka bersungguh-sungguhlah agar engkau mendapatkannya di dunia…Lihatlah kepada apa yang engkau benci untuk menjadi temanmu di akhirat, maka zuhudlah terhadapnya ketika engkau di dunia…Ketahuilah wahai amir, sesungguhnya apabila kebathilah telah dibuat menarik dan menjadi laku (laris) di sisimu, niscaya ahli kebathilan dan orang-orang munafik akan menemuimu dan berkumpul di sekitarmu. Dan apabila al-haq telah dibuat menarik dan ia menjadi laku (laris) di sisimu, niscaya ahlul khair akan berkumpul di sekelilingmu, dan mereka akan menolongmu untuk memenangkannya. Maka pilihlah apa yang kau sukai untuk dirimu.”
Tatkala kematian menjemput Abu Hazim al-A’raj, para sahabatnya berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Hazim?”
Ia menjawab, “Andaikan kita selamat dari keburukan apa yang kita dapatkan dari dunia, maka tidaklah akan membahayakan kita sesuatu yang kita dihindarkan darinya”, kemudian ia membaca sebuah ayat yang mulia, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (Surat Maryam: 96)…ia terus saja mengulang-ulangi ayat tersebut hingga ajal menjemputnya
==================================================================
Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata,
“Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.”
Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?”
Orang itu menjawab, “Begini dan begini.”
“Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata,
“Aku punya pakaian yang kamu pesan.”
Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah,
“Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah.
Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?”
“Ya,” kata Abu Hanifah
Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”
Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”
==========================================================
Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”
Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”
============================================================
Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”
Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”
=========================================================
Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”
Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.
=======================================================
Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang kejelekan musuhnya.” Maka Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.”
====================================================
Alkisah suatu hari Rasulullah melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Seketika, Rasulullah mencabut cincin tersebut dari jari lelaki tersebut, dan melemparkannya sambil bersabda, “Seseorang dari kalian sengaja mengenakan batu neraka pada tangannya”.
Ketika Rasulullah telah pergi, salah seorang sahabat menyuruh lelaki pemakai cincin tadi untuk mengambil cincinnya kembali. Ia menyarankan agar bisa menggunakan untuk keperluan lain, atau menjualnya. Tetapi lelaki itu menolak. “Demi Allah, aku tidak akan mengambil, karena cincin itu telah dibuang Rasulullah”.
Padahal, Rasulullah tidak melarang lelaki tersebut untuk memanfaatkan cincin tersebut pada kepentingan lain. Ia hanya melarang memakainya. Tetapi, si lelaki tersebut enggan mengambil cincin itu kembali, atas dasar cintanya kepada Rasulullah dan keinginan untuk menambah ketaatan dirinya kepada Rasulullah.
Sebenarnya cincin itu bisa digunakan untuk keperluan lain. Yang dilarang, hanyalah pemakaian cincin tersebut di kalangan lelaki. Sementara bagi wanita, cincin tersebut halal dipakai sebagai sarana berhias dan mempercantik diri.
Ket: tapi syaikh albani mengharamkan pemakaian emas melingkar bagi wanita
==============================================================
Ali bin Fudhail berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, betapa manisnya perkataan para Sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
Ayahnya berkata, “Wahai anakku, apakah kamu mengetahui apakah yang menyebabkan perkataan mereka menjadi manis?”
Ali menjawab, “Tidak wahai ayahku.”
Ayahnya berkata, “Karena dengan perkataan tersebut mereka menginginkan Alloh.”
Abdullah bin Muhammad bin Munazzil bercerita, bahwa Hamdun bin Ahmad pernah ditanya : “Kenapa perkataan salaf lebih bermanfaat daripada perkataan kita?”
Hamdun menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan jiwa-jiwa dan keridhaan ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan ketenaran di hadapan manusia.”
====================================================================
Suatu hari Abdullah bin Rawahah hendak pergi ke masjid. Beberapa meter sebelum sampai di masjid, ia mendengar Rasulullah dalam khutbahnya memerintah, “Duduklah kalian semua!”. Serta-merta, Abdullah bin Rawahah duduk, saking taatnya kepada perintah Rasulullah. Padahal, waktu itu ia belum sampai di masjid. Abdullah tetap duduk, sampai Rasulullah selesai berkhutbah.
Adapun sebab Rasulullah memerintahkan duduk, karena beliau melihat beberapa sahabat berdiri sewaktu beliau berkhotbah.
Lalu dikatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, lihatlah Abdullah bin Rawahah. Ia mendengar engkau memerintah duduk, lalu seketika ia duduk di tempatnya”.
Kemudian Rasulullah berkata kepada Abdullah bin Rawahah, “Semoga Allah menambah semangatmu untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya”.
=========================================================
Alkisah ada dua orang bersaudara yang terkenal jago syair, Ka’ab bin Zuhair dan Bujair, mendengar risalah baru yang didakwahkan oleh Nabi. Bujair berkata kepada saudaranya, “Tunggulah. Aku akan pergi menemui orang itu (Nabi), untuk mendengar apa yang dikatakannya”.
Ketika sampai di hadapan Nabi dan mendengar apa yang diucapkan, Allah memberikan hidayah padanya. Bujair masuk Islam. Mengetahui saudaranya masuk Islam, Ka’ab marah, lalu merangkai syair yang isinya menghujat Nabi. Isi syair itu sampai ke telinga Nabi, yang kemudian membolehkan Ka’ab untuk dibunuh. Bujair memberitahu ancaman Nabi, sambil berusaha menasehatinya untuk meminta maaf kepada Nabi, dan masuk Islam. Namun semuanya ditolak Ka’ab. Ia kemudian melarikan diri.
Hari-hari pun berlalu. Dalam pelariannya, Allah membuka hati Ka’ab, untuk menerima Islam. Ia lalu datang menemui Nabi, dan berbaiat kepadanya untuk masuk Islam, sekaligus meminta maaf. Ia merangkai syair yang isinya memuji Nabi,
Inilah Rasul yang datang membawa cahaya,
Mengasah pedang-pedang Allah yang terhunus
Aku dengar Rasulullah telah mengancamku,
Namun ampunan darinya, tetap kuharap
Selesai mengucapkan syair itu, Nabi mengalungkan selendangnya kepada Ka’ab, dan mengampuninya.
=============================================================
Yazid bin Al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Waspadalah kalian dari nyanyian, karena ia bisa mengurangi rasa malu, menghancurkan kepribadian, dan ia adalah pengganti khamar, sehingga membuat orang berbuat seperti orang mabuk, jika engkau terpaksa harus melakukannya maka jauhilah wanita, karena nyanyian mendorong kepada zina.”
==========================================
Muhammad bin Al-Fadhl Al-Azdi berkata, “Suatu kali Al-Huthai’ah bersama seorang puterinya menginap di suatu rumah orang Arab gunung. Ketika malam telah larut, ia mendengar suara nyanyian, maka ia pun berkata kepada pemilik rumah, ‘Hentikan nyanyian itu!’ Pemilik rumah pun terperanjat, ‘Kenapa engkau membenci nyanyian?’ Al-Huthai’ah menjawab, ‘Nyanyian adalah pendorong kepada perbuatan keji, dan aku tidak suka jika puteriku mendengarnya. Hentikan nyanyian itu, jika tidak aku akan keluar dari rumahmu sekarang juga!”
========================================
Suatu kali, Umar bin Abdul Azis menulis kepada guru akhlak dari puteranya, “Hendaknya yang pertama kali mereka yakini dari akhlak (yang engkau ajarkan) yaitu membenci berbagai bentuk nyanyian, yang awalnya adalah dari syetan dan berakhir dengan murka Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Sungguh telah sampai padaku dari orang-orang ahli ilmu terpercaya bahwa suara alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian juga keterpengaruhan dengannya bisa menumbuhkan nifaq di hati sebagaimana rumput tumbuh setelah disirami air.”*
=======================================
Ayub As-Sakhtiyani berkata, “Jika orang-orang shalih disebut maka aku adalah orang yang terasing.”
===============================================
Ketika Sufyan Ats-Tsauri dalam sakaratul maut, Abul Asyhab dan Hammad bin Salamah masuk kepadanya. Hammad berkata kepada Sufyan, “Wahai Abu Abdillah, bukankah engkau sudah merasa aman dari sesuatu yang engkau takuti? Dan engkau telah melakukan apa yang engkau harapkan, sedangkan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” Sufyan menjawab, “Wahai Abu Salamah, apakah engkau mengharapkan orang seperti aku ini bisa selamat dari neraka?” Ia menjawab, “Ya, demi Allah, sungguh aku mengharapkanmu demikian.”
===============================================
Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan seratus ciri kebaikan, aku tidak tahu apakah dalam diriku terdapat satu daripadanya.”
===============================================
Muhammad bin Wasi’ berkata, “Seandainya dosa memiliki aroma, tentu tak seorang pun yang kuat duduk bersamaku.”
===============================================
Pernah suatu ketika Daud Ath-Tha’i diceritakan di hadapan sebagian para raja, sehingga mereka pun memujinya, maka ia berkata, “Seandainya manusia mengetahui sebagian apa yang ada pada kami, tentu tak sepatah pun lisan yang menyebutkan kebaikan kami selamanya.”
===============================================
Al-Marwazi berkata, “Aku membantu Abu Abdillah berwudhu saat bersama orang banyak, tetapi aku menutupinya dari orang-orang agar mereka tidak mengatakan, ‘la tidak membaikkan wudhunya karena sedikitnya air yang dituangkan.’ Dan jika Imam Ahmad berwudhu, hampir saja (air bekasnya) tidak sampai membasahi tanah.”
===============================================
“Abul Faraj Al-Jauzi* menyebutkan kisah dari Abil Wafa’ bin Uqail, ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya, ‘Saya menyelam dalam air berkali-kali tetapi saya ragu-ragu, apakah mandi saya telah sah atau belum, bagaimana menurut pendapatmu?”
Maka Syaikh menjawab, “Pergilah, kamu sudah tidak berkewajiban lagi menunaikan shalat.”
Ia bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” Syaikh menjawab, “Karena Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Pena (catat-an amal) diangkat dari tiga jenis manusia: Orang gila hingga sembuh dari kegilaannya, orang yang tidur hingga bangun dan anak kecil sampai ia baligh.’ (Hadits shahih). Dan siapa yang menyelam dalam air berkali-kali lalu ia ragu-ragu, apakah ia telah kena air atau belum, maka dia adalah orang gila!”
=====================================================
“Tidaklah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pecinta
meski ia mendapatkan cinta itu manis rasanya.
Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan, karena takut berpisah atau karena rindu dendam.
Ia menangis jika mereka jauh, sebab didera kerinduan.
Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan.
Air matanya mengalir saat bertemu.
Air matanya mengalir saat berpisah.”
===========================================
Ibnu Syuja’ Al-Kirman berkata, “Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti Sunnah, memakmurkan batiniah-nya dengan muraqabah (penjagaan kepada Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan salah.”
===========================================
Disebutkan apa yang dilakukan oleh sebagian ahli ilmu di negeri Afrika, “Bahwasanya di pinggir negeri itu terdapat mata air yang disebut dengan mata air penyembuhan. Orang-orang awam terkena fitnah olehnya, sehingga mereka berduyun-duyun dari berbagai negeri mendatanginya. Orang yang belum menikah, belum mempunyai anak akan dikatakan padanya, ‘Ikutlah aku ke mata air penyembuhan.’ Dari sini Al-Hafizh Abu Muhammad mengetahui bahwa di dalamnya ada fitnah. Maka beliau keluar di pagi buta dan melenyapkannya, lalu beliau adzan subuh di atasnya, selanjutnya berkata, ‘Sesungguhnya aku melenyapkan ini karena-Mu, karena itu janganlah Engkau jadikan ada orang yang masih memuliakannya’.” Dan memang setelah itu tidak ada lagi orang yang memuliakannya hingga sekarang.
===============================================
=========================================
diriwayatkan al-Khathib dan Abu Na’im serta selainnya dari Mu’adz bin Jabal r.a. yang berkata, “Pelajarilah ilmu, sebab mempelajarinya karena Allah adalah ketakwaan, mencarinya ibadah, mengulanginya tasbih, mengkajinya jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu sedekah, mengorbankannya kepada yang berhak adalah kurban (kedekatan kepada Allah). Dengan ilmu, Allah dikenal dan disembah serta diesakan, dengan ilmu halal dan haram diketahui, dan dengan ilmu hubungan rahim disambung.
==========================================
Imam Malik berkata, “Suatu ketika Abu Hurairah diundang ke sebuah walimah. Ia datang, tapi tak diizinkan masuk. Akhirnya beliau pulang dan mengganti baju. Ia datang lagi, dan kali ini diizinkan masuk. Ketika makanan dihidangkan, ia memasukkan lengan bajunya ke hidangan tersebut. Orang-orang serentak menyalahkan. Tapi beliau menjawab, ‘Baju inilah yang diizinkan masuk, makanya dialah yang seharusnya makan.”’ Ini diceritakan Ibnu Mazin at-Thalithaly dalam kitabnya.
===========================================
Al-Muzany bercerita, ‘Aku mendengar Imam Syafi’i mengatakan bahwa siapa yang belajar Al-Qur’ an, maka nilai dirinya tinggi. Siapa yang mempelajari masalah fikih, maka martabatnya menjadi mulia. Siapa yang mempelajari bahasa, maka perasaannya menjadi halus. Siapa yang mempelajari ilmu hitung, maka pandangannya luas. Siapa yang menulis hadits maka hujahnya akan kuat. Dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka ilmunya tidak berguna baginya.” Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i dengan versi yang berbeda-beda.
========================================
Mu’awiyah bertutur bahwa ia dengar al-A’masy berkata, “Barangsiapa tidak menuntut ilmu hadits, aku gemas untuk menamparnya dengan sandalku.” Hisyam bin Ali bertutur bahwa ia mendengar al-’Amasy berkata, “Jika kamu lihat seorang tua yang tidak membaca Al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka tamparlah dia karena dia termasuk syuyuukhul-qamraa \” Abu Shalih bertanya kepada Abu Jakfar, “Apa maksud syuyuukhul-qamraa itu?” Jawabnya, “Orang-orang tua yang lanjut usia yang berkumpul pada malam-malam terang bulan, mengobrol tentang orang lain sedang tak satu pun dari mereka dapat wudhu dengan baik.”
==========================================
Al-Muzany berkata, “Imam Syafii bila melihat seorang tua maka ia menanyainya tentang hadits dan fikih. Kalau dia tahu sesuatu, maka dipujinya. Tapi bila tidak, maka ia berkata kepadanya,’ Semoga Allah SWT tidak memberimu ganjaran kebaikan atas dirimu dan Islam. Engkau telah menyia-nyiakan dirimu dan menyia-nyiakan Islam.’
=========================================
Alkisah seorang khalifah Bani Abbas sedang bermain catur. Ketika pamannya meminta izin masuk, ia mengizinkannya setelah menutup meja catur. Begitu sang paman duduk, ia bertanya, “Paman, apakah engkau telah membaca Al-Qur”an?”
Jawabnya, “Tidak.”
Ia bertanya lagi, “Apakah engkau telah menulis sebuah hadits?”
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau telah membaca fikih dan perbedaan pendapat para ulama?” tanyanya.
Kembali ia menjawab, “Tidak.”
Sang khalifah bertanya lagi, “Apakah engkau telah mempelajari bahasa Arab dan sejarah?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Setelah mendengar semua jawaban ini, sang khalifah berkata, “Bukalah meja ini dan lanjutkan permainan!”
Di sini sopan santunnya dan rasa malunya kepada sang paman hilang. Teman bermainnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau membuka meja catur itu di hadapan orang yang patut kau hormati?”
Sang khalifah berkata, “Diamlah! Di sini tak ada siapa-siapa.”
=============================================
Ru’bah Ibnul ‘Ajjaj bercerita, “Pernah aku mendatangi an-Nassabah al-Bakry, lalu ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Jawabku, ‘Aku Ibnul ‘Ajjaj.’
la berkata, ‘Aku tahu. Mungkin kamu seperti orang-orang yang bila aku diam mereka tidak menanyaiku, dan bila aku berbicara mereka tidak paham.’ Aku berkata, ‘Semoga aku tidak seperti itu.’
Ia bertanya, ‘Siapa musuh-musuh muru “ah,( ‘kewibawaan’)?’
Aku berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku!’
Ia menjawab, ‘Teman-teman yang jahat. Bila melihat kebaikan temannya, mereka menutup-nutupinya. Tapi bila melihat keburukan, mereka menyebarkannya.’
Ia melanjutkan, ‘Ilmu itu punya aib, kemalangan, dan cacat. Aibnya adalah melupakannya, kemalangannya adalah berdusta dengannya, dan cacatnya adalah menyebarkannya kepada orang yang tidak layak.’”
=======================================
Ibnu Wahb berkisah, “Saat itu aku sedang berada bersama Imam Malik bin Anas, membaca buku di hadapannya dan mempelajari ilmu. Ketika tiba waktu shalat Zuhur atau Asar, aku kumpulkan buku-bukuku dan aku bangkit untuk shalat sunah. Imam Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan ini?’ Aku menjawab, Aku hendak shalat.’ la berkata, Aneh sekali! Shalat yang hendak kamu lakukan itu tidaklah lebih afdhal daripada pelajaran itu, jika niatnya benar.’”
=====================================
Ar-Rabi’ mendengar Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih afdhal daripada shalat sunah.”
Sufyan ats-Tsaury berkata, “Tidak ada amal yang lebih afdhal daripada menuntut ilmu agama selama niatnya lurus.”
Seorang pria bertanya kepada al-Mu’afy bin Imran, “Mana yang lebih kamu sukai, aku shalat sepanjang malam atau aku menulis hadits?” la menjawab, “Kamu menulis hadits lebih aku sukai daripada kamu shalat dari awal sampai akhir malam.”
la berkata juga, “Menulis satu hadits lebih aku sukai daripada shalat satu malam.”
Ibnu Abbas berkata, “Menelaah ilmu beberapa saat lebih aku senangi daripada shalat sepanjang malam.”
============================================
Dalam Masa ‘il-nya, Ishaq bin Manshur bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang maksud perkataan Ibnu Abbas di atas, “Ilmu apa yang dimaksudnya?” Ahmad menjawab, “Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam agama mereka.” Ishaq bertanya lagi, “Tentang wudhu, shalat, puasa, haji, talak, dan sejenisnyakah?” la menjawab, “Benar.”
Ishaq berkata lagi, “Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku, ‘Maksudnya memang seperti yang dikatakan Ahmad itu.’”
Abu Hurairah berkata, “Aku lebih senang duduk sesaat untuk memperdalam ilmu agamaku daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai pagi.”
Ibnu Abdil Barr menyebutkan dari hadits Abu Hurairah, “Segala sesuatu punya pilar. Dan pilar agama ini adalah ilmu. Allah SWT tidak diibadahi dengan sesuatu yang lebih afdhal dari memperdalam ilmu agama.”
Muhammad bin Ali al-Baqir berkata, “Seorang ulama yang ilmunya bermanfaat lebih baik dari seribu abid/orang yang gemar beribadah.” la berkata juga, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah manusia lebih afdhal daripada ibadahnya seribu abid.”
=================================================
dikatakan seorang penyair,
“Sungguh aneh aku rindu kepada mereka
Dan kutanya orang yang kutemui tentang mereka padahal mereka bersamaku
Mataku mencarinya padahal mereka berada di bagian hitamnya
Sedang hatiku merindukan mereka padahal mereka ada di antara tulang
rusukku.”
Yang lain berkata,
“Sungguh aneh seseorang mengadu kejauhan kekasihnya
apakah seorang kekasih itu dapat hilang dari hati kekasihnya?
Bayanganmu di mataku dan sebutanmu di bibirku
tempat tinggalmu di hatiku, maka bagaimana mungkin kamu akan hilang dariku.”
===================================================
Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143
H) berkata, “Apabila anda melihat seorang
pemuda yang tumbuh dewasa bersama
Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar
bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu
darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh
dewasa sesuai dengan masa kanaknya”.
Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan,
“Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan
orang alim maka akan selamat, tetapi apabila
bergaul dengan yang lainnya maka akan
terpengaruh
Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H)
berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda
apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul
dengan pelaku sunnah”
Demikian juga yang dikatakan oleh as-
Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk
kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan
oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah”
==========================================
Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah
setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in.
Barangsiapa yang mencela salah satu di antara
mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai
karena bertentangan dengan nash dan ijma atas
kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul
bid’ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij
yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat.

117 Tanggapan - tanggapan
ntha, di/pada Oktober 1, 2009 pada 1:07 pm Dikatakan: r
ku sakit hati ma cowok ku,,
cwok ku selingkuh ma orang lain..
eh klian prnh rsain,,rasa’Y disakiti gitu..???
silahkan add facebook & friendster saya: ainuamri2@yahoo.com (Amri), di/pada Oktober 2, 2009 pada 6:46 am Dikatakan: r
Teman sejati.. adalah dia yang mau mengerti ketika kamu berkata “aku lupa”, menunggu selamanya ketika kamu berkata “tunggu sebentar”, tetap tinggal ketika kamu berkata “tinggalkan aku sendiri”, dan membukakan pintu meski kamu belum mengetuk dan berkata “bolehkah saya masuk?”
Dalam hidup ini ada begitu banyak pintu kebahagiaan yang terbuka untuk kita, tetapi kadang kita terpaku pada sebuah pintu yang tertutup dan terus berharap suatu saat pintu itu akan terbuka, sehingga kita malah tidak menyadari keberadaan pintu-pintu lain yang terbuka untuk kita
Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu
masih merasa sanggup, dan jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.
bagi anda semua yang ingin bertanya masalah agama, konsultasi/curhat masalah cinta, konsultasi masalah gangguan sihir/jin/makhluk halus/santet/guna-guna/teluh/tenung, konsultasi semua problem kehidupan, silahkan add facebook teman saya dan silahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan anda kepadanya: abuhaidar.riyanto@gmail.com
“Telah diwajibkan berperang kepada kalian meskipun kalian tidak menyukainya, dan bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui” (albaqarah 216)
Shalahudin telah membebaskan Yerussalem 800 tahun yang lalu, Al Fatih telah merebut konstantinopel 550 tahun yang lalu, kini giliran kita untuk menakhlukkan Washington, Moscow, dan Beijing.
——————————————
Khaibar.. khaibar ya yahud, jaisy muhammad saufa ya’ud (ingatlah peristiwa khaibar wahai bangsa yahudi, tentara Muhammad suatu saat akan datang)
—————————————-
Mereka menamakan kami Wahabiyyin, dan menamakan madzhab kami adalah madzhab wahabi yang dianggap sebagai madzhab yang baru. Ini adalah fitnah, yang timbul dari propaganda-propaganda dusta yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam. Kami bukanlah pemilik madzhab baru ataupun aqidah baru. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah mendatangkan sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah Salafush Shalih yang datang di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang ditempuh oleh Salafush Shalih. Kami menghormati imam empat, tidak ada perbedaan di sisi kami antara para imam : Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah, semuanya terhormat dalam pandangan kami” [Al-Wajiz Fi Siratil Malik Abdul Aziz, hal. 217]
Islam adalah negeri kita, tanah air kita, bangsa kita, keluarga dan kerabat kita. Di belahan bumi manapun syari’at Islam ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan, maka di sanalah negeri kita tercinta. Di bagian bumi manapun umat islam berada, maka mereka lah saudara kita dan bangsa kita. Setiap jengkal tanah di wilayah manapun di muka bumi ini yang dikuasai oleh umat islam maka itulah bagian tanah air kita yang harus selalu kita bela.
========================
“Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya sementara dan kepada Rabbul ‘Alamin, Allah Tabaraka Wa Ta’ala, kita semua akan kembali. Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian istiqamahlah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar