Selasa, 27 Juli 2010

Imam Syafi'ie

10 PESANAN IMAM SyAFI'E YANG PERLU DIIKUTI

Sebelum Imam Shafie wafat, beliau sempat berpesan kepada muridnya serta umat islam umumnya. berikut adalah kandungan wasiat tersebut: ” Barangsiapa yg ingin meninggalkan dunia dlm keadaan selamat maka hendaklah ia mengamalkan 10 perkara:
• Hak kpd diri: mengurangkan tidur, mengurangkan makan, percakapan dan berpada-pada dgn rezeki yd ada.
• Hak kpd malaikat maut: mengqadakan kewajipan2 yg tertinggal,mendapatkan kemaafan dr org yg dzalimi, membuat persediaan utk mati dan merasa cinta kpd ALLAH
• Hak kpd kubur: membuang tabiat suka mneabur fitnah, tabiat kencing merata-rata, memperbanyakkan solat tahajjud dan membantu org yg dizalimi.
• Hak kpd Munkar dan Nakir : tidak berdusta, berkata benar, meninggalkan maksiat dan nasihat menasihati.
• Hak kpd mizan(neraca timbangan amalan pada hari kiamat): menahan kemarahan, byk berzikir, mengikhlaskan amaln dan sanggup menahan kesulitan.
• Hak kpd sirat(titian yg merintangi neraka pada hari kiamat): mmbuang tabiat suka mengumpat, warak, suka membantu orang beriman dan suka berjamaah.
• Hak kpd Malik(malaikat penjaga neraka): menangis lantaran takutkan ALLAH s.w.t, berbuat baik kpd ibu bapa, bersedekah ketika terang-terangan serta sembunyi dan memperelokkan akhlak.
• Hak kpd Ridhzuan(malaiakt penjaga syurga): merasa redha kpd qadha’ ALLAH, bersabar menerima bala, bersyukur ke atas nikmat ALLAH dan bertaubat dr melakukan maksiat.
• Hak kpd Nabi MUhd SAW: berselawat ke atasnya, berpegang dgn syariat, bergantung kpd al sunnah (hadith), menyayangi para sahabat dan bersaing dlm mencari kelebihan dari ALLAH.
• Hak kpd ALLAH s.w.t: mengajak manusia ke arah kebaikan, mencegah dari kemungkaran, menyukai ketaatan dan membenci kemaksiatan.

Cinta oh cinta...

SEKIRANYA KITA CINTA KEPADA MANUSIA,
TAK SEMESTINYA MANUSIA CINTA KEPADA KITA,
TETAPI SEKIRANYA KITA CINTA KEPADA ALLAH,
NESCAYA CINTA ALLAH TIADA PENGHUJUNGNYA.
SEKIRANYA KITA CINTA KEPADA MANUSIA,
KITA AKAN CEMBURU KEPADA ORANG YANG MENCINTAI
ORANG YANG KITA CINTAI,
TETAPI SEKIRANYA KITA CINTA KEPADA ALLAH,
KITA AKAN TURUT MENCINTAI
ORANG YANG MELABUHKAN CINTANYA KEPADA ALLAH JUGA.
YA ALLAH,
ANDAINYA DIA ADALAH JODOH YANG DITETAPKAN
OLEH-MU KEPADAKU,
MAKA CAMPAKKANLAH DALAM HATIKU CINTA KEPADANYA ADALAH
KERANA-MU,
DAN CAMPAKKANLAH DALAM HATINYA,
CINTA KEPADAKU ADALAH KERANA-MU.


NAMUN,
ANDAINYA DIA BUKANLAH JODOH YANG DITETAPKAN OLEH-MU KEPADAKU,
BERIKANLAH KU KEKUATAN AGAR PASRAH DALAM MENGHARUNGI UJIAN,
YANG KAU BERIKAN KEPADAKU.


YA ALLAH,
JIKA AKU JATUH CINTA,
CINTAKANLAH AKU PADA SESEORANG YANG MELABUHKAN CINTANYA PADA-MU, AGAR BERTAMBAH KEKUATANKU UNTUK MENCINTAI-MU.


YA MUHAIMIN,
JIKA AKU JATUH CINTA,
JAGALAH CINTAKU PADANYA AGAR TIDAK MELEBIHI CINTAKU PADA-MU.


YA RABBANA,
JIKA AKU JATUH HATI,
JAGALAH HATIKU PADANYA AGAR TIDAK BERPALING PADA-MU.


YA RABBUL IZZATI,
JIKA AKU RINDU,
RINDUKANLAH AKU PADA SESEORANG YANG MERINDUI SYAHID DI JALAN-MU.


YA ALLAH,
JIKA AKU RINDU,
JAGALAH RINDUKU PADANYA AGAR TIDAK LALAI AKU MERINDUI SYURGA-MU.


YA ALLAH,
JIKA AKU MENIKMATI CINTA KEKASIH-MU,
JANGANLAH KENIKMATAN ITU MELEBIHI KENIKMATAN INDAHNYA BERMUNAJAT DI SEPERTIGA MALAM TERAKHIR-MU


YA ALLAH,
JIKA AKU JATUH HATI PADA KEKASIH-MU,
JANGANLAH BIARKAN AKU TERTATIH DAN TERJATUH DALAM PERJALANAN PANJANG MENYERU MANUSIA KEPADA-MU.


YA ALLAH,
JIKA KAU HALALKAN AKU MERINDUI KEKASIH-MU,
JANGAN BIARKAN AKU MELAMPAUI BATAS SEHINGGA MELUPAKAN AKU PADA CINTA HAKIKI DAN RINDU ABADI HANYA KEPADA-MU.

Minggu, 25 Juli 2010

Untuk Pak Radi....(mengapa suka mengangkat tangan ketika berdo'a???) smoga kita segera lurus dalam ihya'us Sunnah...

Kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanyakan, “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo’a?”
Beliau –rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :
Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :
Pertama, ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Contohnya adalah ketika berdo’a setelah shalat istisqo’ (shalat minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan.
Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di bukit Shofa dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk mengangkat tangan : (1) ketika berada di Shofa, (2) ketika berada di Marwah, (3) ketika berada di Arofah, (4) ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh, (5) di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq, (6) di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.
Kedua, tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah do’a di dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam khutbah Jum’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).
Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.
Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.. ” [1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan? [2]
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a.
Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan?
Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) [3] yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if). [Liqo’at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset no. 51]
Footnote:
[1] Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ‏‎ ‎وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ‏‎ ‎يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا‎ ‎رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ‏‎ ‎يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)
[2] HR. Muslim no. 1015.
[3] Hadits yang dimaksudkan adalah dari Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله‎ ‎عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ‏‎ ‎فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا‎ ‎حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.”
Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur’ah mengatakan, “Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini tidak ada asalnya.” (Lihat ‘Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).

Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya? Risalah ini insya Allah akan menjelaskan tentang lemahnya hadits-hadits mengenai mengusap wajah.
Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : “Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu. [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai dasar amalan tersebut. [Majmu Fatawa 22/519]
Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam] (1)
Dalam fatwanya Al-Lajnah Ad-Daimah nenyatakan: Adapun mengusap wajah ketika selesai berdoa, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu:
إِذَا دَعَوْتَ فَادْعُ اللهَ
بِبُطُوْنِ كَفَّيْكَ، وَلاَ تَدْعُ
بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ
فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ
“Apabila engkau berdoa, maka berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak tanganmu dan jangan berdoa dengan punggung tanganmu. Lalu jika engkau telah selesai, usaplah wajahmu dengan kedua telapak tanganmu.”
Maka hadits ini lemah, karena kelemahan Shalih bin Hassan, seorang perawinya. Dia didhaifkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, dan Ad-Daruquthni rahimahumullah. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu mengatakan tentangnya: “Munkarul hadits.”
Begitu pula hadits lain yang berkaitan mengusap wajah yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dalam sanadnya ada Hammad bin ‘Isa, dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dan dia seorang rawi yang lemah. Sehingga mengusap wajah setelah berdoa tidak benar penukilannya, baik dari sunnah qauliyyah ataupun amaliyyah. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/94-95] (2)
Penjelasan kedudukan hadits tentang mengusap wajah:
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.
Penjelasan:
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2). Dengan sanad: Hammaad ibn ‘Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn ‘Abdullah dari bapaknya dari ‘Umar ibn al-Khatthab. At Tirmidzi berkata: ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib: ”Ibnu Ma’in berkata: ’Dia adalah Syaikh yang baik’, Abu Hatim berkata: ’Lemah didalam (meriwayatkan) hadits’, Abu Dawud berkata: ’Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar’. Hakim dan Naqash berkata: ’Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq’, Dia dinyatakan lemah oleh Ad Daraquthni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata: ’mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah”.
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits 1:
”Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya.”
Hadits ini Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya. Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut Tahdzib). Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.
2. ”Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya, dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka.”
Penjelasan:
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137), Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’).
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa’i, ”Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits”; Ibnu Hibban berkata:”Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya”; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul ‘Ilal (2/351): ”Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata: ’Munkar’.”
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah. Ibnu Hibban berkata: ”Dia meriwayatkan beberapa hadits, dan semuanya tertolak”. An Nasa’i berkata:”Dia tidak bisa dipercaya”. Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut:
”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu, dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.
Hadits ini sanadnya dha’if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya’qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal –Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad ibn Mu’awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka’b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu’awiyah dinyatakan kadzab oleh Daraquthni. Maka hadits ini adalah maudhu’. Abu Dawud berkata tentang hadits ini: ”hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka’b; semuanya tertolak.”
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur’an (Riwayat Ahmad (3/137) & Ath Thabarani Al-Mu’jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada sholat Witir. Namun mengusap muka sesudah do’a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid ’ah yang nyata.
Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan, seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut. Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu ‘Abdus-Salaam yang berkata bahwa ”Hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini ”.
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo’a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo’a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a’lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan. (3)
Wallahu a’lam bish shawab.
________________
(1) Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a, Penulis Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, Penerjemah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq. Lihat: http://www.almanhaj.or.id/content/1326/slash/0
(2) http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=818
(3) Sumber : Kitab Irwa’ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani. Lihat: http://jilbab.or.id/archives/88-lemahnya-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa/
dari Abu 'Azzam

Rabu, 21 Juli 2010

Marhaban Ya Ramadhan....

Ramadhan adalah tamu agung...
sambutlah ia sebagaimana menyambut tamu agung...
biarkanlah rumah jiwa di hati kita senantiasa terbuka...
agar ia berkenan singgah di hati kita...
sebarkan salam dan senyuman dari lubuk hati kita kepadanya...
hingga ia merasa mulia di hadapan kita...
karena ia memang benar-benar mulia...
tuluskan semua perilaku kita...
hingga ia merasa kita benar-benar ramah kepadanya...
sungguh ia adalah tamu yang paling pantas...
mendapat sambutan yang paling ramah di dunia ini...
marhaban yaa ramadhan...marhaban yaa syahro shiyam...
smoga kerinduan kami kepadamu 'kan segera terbayar...
Allohumma baariklana fii rojaba wa sya'bana...
wa ballighnaa romadhoona....aamien

Selasa, 13 Juli 2010

Marhaban Ya Ramadhan.......

Saudara-saudara seiman !!!
Mari kita sambut bulan Ramadhan yang penuh berkah mulai bulan Sya'ban ini. Kita persiapkan diri kita baik fisik dan rohani untuk bulan yang penuh karunia tersebut.

Mempersiapkan rohani kita adalah dengan mulai mempelajari hal-hal penting yang perlu kita amalkan selama bulan tersebut. Kita buka kembali pelajaran fiqhus-syiyam kita, yaitu fikih berpuasa yang benar dan sesuai ajaran. Kita sadarkan diri dan kesadaran kita akan pentingnya bulan tersebut bagi agama dan keimanan kita.
Secara fisik, kita juga harus mempersiapkan diri di bulan ini dengan melatih diri memperbanyak ibadah dan khususnya puasa. Itulah salah satu hikmah kita dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban ini. Dan di bulan Sya'ban ini juga ada malam nisfu sya'ban, yaitu malam pertengahan bulan Sya'ban. Lepas dari kuat tidaknya dalil mengenai amalam pada malam tersebut, namun malam itu bisa kita jadikan waktu pengingat kembali akan persiapan-persiapan kita dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh maghfirah. Berikut ini hadist-hadist seputar keutamaan bulan Sys'ban semoga bisa kita baca dan amalkan:
Dari Aisyah r.a. beliau berkata:"Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya'ban". (h.r. Bukhari). Beliau juga bersabda:"Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan".
Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya'ban? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (h.r. Abu Dawud dan Nasa'i).
Dari A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.
Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).
Ulama berpendapat bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk Fadlail A'mal (keutamaan amal). Walaupun hadis-hadis tersebut tidak sahih, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan kautamaan bulan Sya'ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya'ban jelas mempunyai keuatamana dibandingkan dengan malam-malam lainnya.
Bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa. Adapun meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah tidak pernah melakukannya. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.
Jadi sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya. Wallahu a'lam

isra wal mi'raj 1431H di masjid al-Haq Pondok Condongcatur

ISRA' MI'RAJ RASULULLAH SAW

Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:

"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang terucapkan baik dalam kerangka kesadaran maupun diluar kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil 'aadah). Ungkapan ini tidak pernah dan tak mungkin tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW. Sebab sesuatu yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil 'aadah" (luar biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah biasa, dan tidak mungkin dianggap luar biasa.

Itulah sebabnya "tasbihh" pada kata "Subhanallah" senantiasa bergandengan dengan Allah SWT. Bukankah memang kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah "di luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar, peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana Allah dengan sangat enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW, dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan seorang manusia dapat terjadi, apalagi pada zaman kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama, adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang manusia anggap biasa maupun luar biasa? Kalau sekiranya teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya", maka apakah secara akal pula, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar biasa-an" Allah SWT?

Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang terikut oleh kaum empiris dan rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal Mi'raj. Dan oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua "sikap" manusia terhadap pertistiwa agung itu. Sikap "imani" yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan sikap "kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar akal pemikiran yang sempit. Umat Islam, dalam hal ini, kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak jatuh ke dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh penjahat-penjahat iman. Pendekatan yang terbaik adalah pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Siddiq, seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang mengatakannnya, pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu".

Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang berbahaya, atau minimal membawa kepada kesia-siaan, tidakkah akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan untuk mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran) yang terkandung di dalamnya. Sebab memang, salah satu kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah perjalanan Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai sejarah yang diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat Islam hanya mampu menyelami pesisir sejarah yang sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman, Tsamud, Abu Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak ditangkap secara jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya

Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.

Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.

Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar badi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati

Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?

Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".

Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya "nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera perjalanan hidup.

Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah. Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi. Wa idza fasadat, fasada saairu 'amalihi".

Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".

Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani" ini (kalbu), disebutkan dalam berbagai bentuk urgensi membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar

Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".

Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.

Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Namun sensitivitas jiwa yang bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik untuk diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan akhirat, akan ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri. Inilah inti dari fitrah insani. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika ternyata kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal

Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi menuju ke atas di Sidratul Muntaha. Perjalanan horizontal yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal. Dalam perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari masjid ke sebuah masjid, dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di tengah perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya diperhatikan awal langkah. Motivasi dasar atau niat kita dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari dilakukannya sesuatu itu pula tidak lain sekedar untuk menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan niat dan tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah yang kita lakukan akan selalu harmonis dengan keduanya. Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk Allah, namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai olehNya? "Qul Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Rabbil'aalimiin".

Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan perjalanan vertikal menuju kehariabaanNya. Dalam agama Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah). jika kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranglah di atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah yang banyak", demikian perintah Allah SWT.

Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju arah vertikal. "Addunya mazra'atul aakhirah" (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya, akhirnya jua akan menuju ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman Allah. Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik, karena itu akan menentukan proses langkah selanjutnya menuju atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam kehidupan ini kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup insani. Allah menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa mereka di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia". Hubungan vertikal yang solid dan juga hubungan horizontal yang mantap.
Kelima: Imam Shalat Berjama'ah

Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah kehidupan seorang insan. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.

Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum 'alalaamiin), juga mengakui kepemimpinan Rasulullah SAW. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.

Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud secara bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan Allah bersama serta menjadi landasan dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya. Sehingga adalah menjadi "logic" jika umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi "pemimpin" bagi seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas manusia yang lain, sebagaimana Rasul Allah telah menjadi penyaksi atas kamu".

Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu adalah kriteria awal. Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki "leadership skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah juga mensyaratkan kepemimpinan shalat misalnya dengan dua hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan "a'lamukum bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits di sini tentunya adalah mengetahui secara baik tatatanan kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara baik.

Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti kongkrit kepemimpinan yang dapat menjadi "bargaining". Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja bertanya: "Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"? Politik, ekonomi, sosial budaya, atau bahkan moralitas? Saya heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam orang berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang lemah tak ada yang menolong apalgi memberikan "prioritas", sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka merupakan elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu apakah yang akan ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori muluk yang ternyata belum mampu menyentuk kehidupan riil kita sendiri?

Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Tapi menurut laporan sebuah majalah baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk (terkorup) dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia Islam masa kini. Murid saya di Labor Union (Retiree program) mengatakan: "I love your country, but not much your people". Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they force me to pay them for nothing". Menyakitkan, tapi itulah realita.
Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat

Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang tergambar jelas dalam persepsi kita adalah perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula Muntaha di al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari, bahwa segera setelah selesai perjalanan suci itu, Rasulullah kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling penting, yaitu shalat.

Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke bumi. Kedua adalah dibekalkannya beliau dengan shalat.

Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.

Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang Muslim, yang senantiasa terkait dengan dunia "atas", namun kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah keniscayaan. Mencari dunia adalah, tidak saja tuntutan hajat manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan bekerja keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al Qur'an, sebagaimana diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul bae'), juga segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan: "faidzaa qudhiyatis Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah datang dari Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara sama pula. Artinya, kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya juga 100%. Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi, bertebaran mencari rezki Allah adalah juga perintah 100% dan juga harus memenuhi aturanNya 100%.

Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).

Demikia sekilas makna Isra wal Mi'raj, mohon maaf atas keterbatasan saya, semoga kalau ada manfaatnya diterima oleh Allah SWT. Dan kalau seandainya banyak kesalahan, dan saya yakin itu karena itulah hakikat saya, semoga Allah Yang Rahman dan rahim berkenan mengampuni saya.
Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama: سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya; Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman" قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
wallahu A'lam.....